Kamis, 12 Mei 2016

CERPEN "Bintang di Siang Hari"

Bintang di siang hari

Mentari nampak masih malu mengepakkan jubahnya, yang ditandai dengan rona jingga dari ufuk timur. Perlahan gugusan awan berjejer rapi menutupi langit yang masih kelam. Bulan mengedipkan matanya, mungkin sebagai isyarat bahwa ia akan kembali ke peraduannya karena cahaya mentari akan mengalahkan sinarnya. Luna menghirup udara dalam-dalam. Terasa jelas uap air dari udara yang lembab masuk ke dalam tenggorokannya. Udara itu memulai perjalanan barunya, berganti dari lingkungan atmosfer, membawa oksigen masuk ke dalam aliran darahnya.

Setiap orang pasti menyukai suasana pagi seperti ini, tak terkecuali seorang Luna yang sejak tadi berada di jalan ini. Di kanan kiri jalan gugusan rumah dengan stelan modis bejejer dengan rapinya. Earphone berwarna merah jambu nampak melekat di kepalanya yang berlapiskan jilbab kaos hijau tosca. Setelannya sederhana, dengan sweater abu-abu dan celana olahraga hitam bercorak garis-garis putih. Ia hanyut dalam lagu yang ada di playlist. Langkahnya pelan saja. Tangannya sejak tadi di letakkan di dalam kantong sweater yang ia kenakan.

Sesakali gadis itu mengangguk-nganggukan kepala seperti hanyut dengan setiap alunan lagu, menelisik alam bawah sadarnya, hingga tak memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Sesekali pandangan orang lain tertuju padanya, mungkin mereka sedikit risih dengan sikap Luna itu. Namun, sang gadis tak menyadari itu dan terus saja melangkahkan kaki dengan sesekali berlari-lari pendek.

Cukup lama ia seperti itu. Yang benar saja, semua orang yang menjumpainya adalah tetangga yang tentunya ia kenal, tapi tak satu pun sapaan mengudara dari bibir mungilnya itu. Hingga membuat orang lain juga merasa enggan menegur. Dari arah belakang seseorang nampak berlari kencang mengejar Luna. Semakin dekat langkah itu semakin cepat dan pada akhirnya tangan berkulit sawo matang menyentuh bahu Luna. Namanya Naima. Ia adalah sahabat Luna. Tubuhnya yang sepuluh senti lebih tinggi kini berdiri sejajar dengan Luna. Nafasnya terengah-engah, seakan ia ingin menghirup semua udara yang ada. Tatapannya sayu, nampaknya ia ingin mengucapkan banyak hal namun tersandung oleh nafasnya yang masih tak karuan.

"Tarik nafas dalam-dalam dulu naima, baru kamu bicara" ucap Luna menenangkan sahabatnya itu sambil mengukir senyum tipis yang sungguh manis.

Kata-katanya itu direspon dengan anggukan dari naima. Beberapa detik berlalu, nafas naima mulai normal.

"sejak tadi aku manggil kamu tapi gak ada respon, sampe doer bibirku ini berteriak"

Luna tertawa mendengar celotehan sahabatnya itu.

"Sory-sory, kamu kan liat sendiri aku pake earphone"
"Hari ini kan kita mau ke pegunungan, kamu gak mau siap-siap ? Kita harus ada di kampus loh jam delapan tepat, kalau tidak kordinator asisten kembali mengurai celotehan panjangnya Entah bilang kita itu harus disiplinlah, gak boleh pake jam karet, dan kata yang paling aku gak suka kalau kordinator nyumpain dengan kata andalannya, yang tidak disiplin nanti MANDUL !!!"

Naima  berceloteh panjang lebar layaknya lintah penggunjing yang mengurai semua kejelekan koordinator asisten tanpa rem. Kata- katanya jika dapat diurai mungkin separuh jalan sudah penuh dengan  kata-kata. Luna hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan naima, mungkin juga dalam hatinya terselip rasa jengkel dengan sikap naima yang merusak suasana pagi yang harusnya penuh dengan semangat. Namun naima dengan segala uneg-unegnya seaian ingin menutup semangat pagi ini.
"Iya. Ntar jam 7 aku siap-siap. Aku masih mau nikmatin udara pagi yang sejuk ini" sambil tersenyum.

Senyum manisnya itu selalu mampu membuat siapapun yang melihatnya menjadi tenang. Betapa tidak, bibirnya yang merah merekah sangat menyejukkan mata. Bak setetes air yang jatuh di tanah berpasir, ia akan seketika terserap ke dalam hati orang-orang yang melihatnya.
Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berlari dengan cepat dan nafas tergopoh-gopoh, langkahnya makin lama makin lambat saja. Dengan cepat, ia menyusuri koridor kampus yang saat itu nampak sepi, satu persatu pintu di lorong ruangan ia buka. Luna terus berlari hingga pada akhirnya mencapai persimpangan lorong dan berbelok ke arah kanan. Langkahnya mulai pelan,  tatapannya tertuju pada lapangan yang berada di tengah-tengah gedung kampus. Di sana, nampak teman-teman seangkatan Luna yang sedang berbaris. Mereka nampak antusias mendengarkan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh kordinator praktikum. Ya, kali ini Luna dan teman-temannya akan ke pegunungan untuk melakukan praktek lapangan dan mencari tanaman yang akan dijadikan bahan praktikum botani nanti. Dengan gugup, Luna mengayunkan langkah ke arah salah satu barisan yang berada di bagian tepi kiri. Keberuntungan kali ini berpihak pada Luna, karna pak kordinator tidak menyadari kedatangannya, sehingga dengan mudahnya ia bisa bergabung dengan yang lain tanpa terlebih dahulu telinganya di panasi oleh kata-kata dari pak kordinator.

"Lun, kamu dari mana aja sih. Kok terlambat" sapa Naima.

"Humm.. Jelas-jelas aku dari luar Naima." jawab Luna dengan nafas yang masih tidak beraturan.

"Maksud aku, kamu abis ngapain kok bisa terlambat"

"Yah, itu sih beda lagi redaksi pertanyaannya Naima, tadi tu ban motor adikku bocor, trus aku bantu nyari tukang tambal ban, tapi sialnya, ini pagi-pagi buta, jadi ngaak ada bengkel yang buka. Terpaksa deh aku naik angkot. Kamu kan tau sendiri kalau naik angkot, jaraknya itu cukup jauh karena harus ikut jalur angkot, di tambah lagi macetnya minta ampun" Luna menjelaskan panjang lebar, sementara Naima hanya ngangguk-ngangguk tak jelas antara mengerti atau cuman pura-pura mendengar. Kan cuman ada dua pilihan tuh kalau orang di ajak bicara trus bisanya cuman ngangguk-ngangguk.

"Baguslah" respon Naima
"Hah.. Kok bagus sih"
"Yah bagus donk karna kamu masih sempat dapat angkot" jawab Naima dengan senyum nyengir ala anak manis.
"Ia juga sih" angguk Luna tanda mengerti

Hening, tidak ada lagi percakapan antara Luna dan Naima. Masing-masing sibuk mendengarkan nasehat dari kordinator asisten. Luna sesekali melayangkan pandang ke arah barisan yang berada di sebelah kanan. Matanya mencari-cari sosok jangkung yang beberapa pekan terakhir ini sering bersemedi di pikirannya, meskipun sudah ia usir semampunya. matanya tak menjumpai sosok itu, membuat rasa kecewa bertengger di hatinya. Kembali Luna mendengar nasehat kordinator asisten.

Tiba saatnya pembagian kelompok Setiap kelompok akan menaiki bus yang sama menuju puncak. Rasa harap menjelma di dalam hati Luna, ia ingin jika bisa sekolompok dengan orang yang tadi ia cari-cari. Dan bagai kejatuhan bunga tomat dari atas kepalanya, harapannya menjadi kenyataan. "Memang benar hukum kesetimbangan itu, memikirkan sesuatu akan mendatangkan apa yag diinginkan itu" gumamnya dalam hati di ikuti senyuman manis yang tersungging di bibirnya.

"Heeii.. Kok senyum-senyum lun" senggol Naima yang berdiri di sebelah kanannya.

"Haa.. Iya kenapa Naima ?"

"Gak ada angin, gak ada hujan kok senyum-senyum sendiri?" ledek Naima

"Kalau ada angin dan hujan, aku sih gak bakalan senyum, tapi melarikan diri ke tempat yang aman, gimana sih" sambung Luna

"Hmm.. Memang yah kalau orang pinter bawaannya serius mulu, maksud aku kan gak ada sesuatu yang lucu dan lain sebagainya, kok senyum-senyum? "

"Naimaku yang cantik, setiap orang kan punya imajinasi yang bisa menghadirkan sejuta rasa, bisa bikin orang senang ataupun sedih, gak mesti ada sesuatu dari luar"  respon Luna dengan nada sesikit menekankan, ya walaupun sebenarnya ia berusaha menutupi apa yang membuatnya tersenyum sendiri.

"Iya deh bu guru Luna"  Naima menyerah

Luna nampak puas, ia tidak mesti menjawab pertanyaan dari Naima.
Perjalanan dimulai, satu persatu mahasiswa menuju bus dengan membopong ransel besar, bekal pakaian dan perlengkapan lain selama 2 hari di puncak.

Luna melangkahkan kaki dengan hentakan semangat. Seperti biasa, ia sangat senang jika mengunjungi tempat baru apalagi ini ke daerah pegunungan dan bersama teman-teman sekampusnya, terlebih lagi kata temannya yang abis ceklok alias cek lokasi, di sana tempatnya sangat indah, dijuluki desa seribu bunga karena disana ada banyak bunga, mulai dari bunga yang biasa dijumpai di kota sampai bunga yang cukup langkah seperti bunga masamba dan Edelwiss.

 "hmm.. Pasti sangat menyenangkan" batin Luna.
"Luna, ayo duduk di sampingku, di sini masih kosong" teriak Dias yang duduk tepat di belakang supir. Dias adalah teman sekelas Luna.

Luna yang masih bingung untuk memilih ingin duduk di mana seketika mengikuti ajakan Dias. Dengan sigap Luna meletakkan tasnya di tempat penyimpanan tas dan segera menghempaskan tubuhnya di atas kursi bus dengan balutan kain berwarna biru. Ia mengambil posisi di dekat jendela agar bisa melihat pemandangan selama perjalanan. Ada kelebihan ia duduk di belakang pak supir, karna tepat di depannya ada cermin yang membuatnya mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di belakangnya. Tepat di bangku ke 3 dari belakang, di sana duduk sosok yang sempat ia cari di halaman kampus. Lagi-lagi senang membuncah di dalam dada Luna, walaupun hanya dengan menatap wajahnya.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, bus berhenti untuk isoma alias istirahat, sholat dan makan. Bus berhenti tepat di depan sebuah mesjid, karena bertepatan dengan waktu sholat dhuhur, Luna mendahulukan untuk sholat sebelum makan. Setelah berwudhu, Luna segera berjalan menuju tempat sholat, namun ada satu hal yang mengejutkan Luna. Sosok itu ternyata kini berada di depannya, menatapnya dengan teduh, Luna berpura-pura melap butiran air yang bergelantungan di wajahnya. Melihat tatapan itu, Luna jadi seperti kerupuk yang disiram air panas. Luna hanya berjalan cepat menjauhinya, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Jangankan mengucapkan sepatah kata, untuk bertatapan lebih lama saja Luna tak pernah berani. Luna hanya bisa menatapnya dari kejauhan, memandangi kesederhanaannya dalam bersikap, memandang keteduhan senyumnya.

Di puncak, setiap rombongan bus di beri tempat khusus masing untuk beristirahat sejenak kemudian segera melakukan agenda pertama yaitu menuju ke beberapa tempat untuk berburu berbagai jenis tanaman tertentu. Udara terasa sangat sejuk meski saat itu pukul 2 siang, jika di kota tak akan seperti ini. Di kota, jam 2 siang biasanya hanya dihabiskan dengan beraktifitas di dalam ruangan, betapa tidak, mentari sangat agresif menyapa bumi dengan radiasi panasnya yang sangat menyengat saat musim kemarau. Berbeda dengan kota, tempat ini sangat dingin, jarak pandang hanya sekitar 15 meter, udara terasa sangat dingin merasuk ke dalam pori-pori jaket ungu yang dikenakan Luna. Di temani teman-teman sekelompoknya, Luna berjalan membelah kabut di antara perkebunan wortel yang di selingi oleh rumah-runah warga yang hanya bisa si hitung jari. Di pekarangan rumah warga banyak sekali karangan bunga dengan warna yang bermacam-macam, ada bunga mawar, krisan, melati, bunga-bunga lain yang membuat Luna kagum, kagum dengan keindahannya dan tentunya semakin menambah rasa kagumnya pada pencipta semua ini.

Lelah mulai terasa, Luna menghentikan langkahnya, tiba-tiba sosok itu hadir, ia sepertinya melangkah ke arah Luna.

"Aduh, bagaimana nih." batin Luna, kakinya kini seakan menjelma jadi agar-agar, sepertinya tidak mampu menopang tubuhnya. "Lun, bawa sanatai aja" nasehatnya pada diri sendiri.

Ia kemudian memberanikan diri berjalan berdampingan dengannya, mesti hanya saling menganggap sebagai angin. Yah, angin yang ada namun tak terlihat. Tak pernah ada yang peduli tuk berusaha melihat angin, karena memang ia tak terlihat namun jelas adanya.

Semua ini bermula dari tatapan bintang. Bintang itu bersinar meskipun siang hari, menyapa ketidaksadaran Luna bahwa selama ini bintang itu sering mengawasinya dari jarak yang jauh. Bintang itu hadir di matanya, memberikan harapan yang mungkin tak terbalaskan. Bintang itu bersinar di matanya, sosok yang mengisi pikiran Luna saat ini.



   

CERPEN "Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan"

Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan

“Aku berpikir maka aku ada”. Kata-kata dari Descartes ini sangat populer, dan kata kata inilah yang saat ini mengaung di pikiranku, saat aku termenung. Pikiranku berjalan menyusuri jalannya sendiri, melupakan eksistensi fisikku yang berada di alam hampa. Aku bernapas, dan bergerak atau mungkin lebih tepat disebut tergerakkan. Tergerakkan oleh sesuatu yang ada di dalam diriku. Entah sesuatu apa itu, ia tak berwujud namun mampu memberikan dorongan bagiku untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kekuatan itu sangat kuat, hingga mampu mengalahkan nalarku. Nalarku terkalahkan olehnya. Nalarku inginkan ketenangan, namun aku tak bisa menggapai ketenangan itu karena ditentang olehnya.

Ku hembuskan nafas sekuat-kuatnya. Terasa udara hangat menyembul keluar dari rongga hidungku. Aku begitu hampa. Fakultas imagi dan nalar mengambil alih diriku, membawaku menyusuri lorong gelap dengan tepi bertembok kokoh dan raut mencekam. Di sini begitu sepi, aku takut. Sedang apa aku di alam hampa ini ? apa yang aku lakukan di sini? Dan untuk apa aku ada? Pertanyaan-pertanyaan itu satu persatu hadir membuat nalarku sesak dan tersumpal dengan banyak hal dan jawaban tak pasti. Ini semakin sulit saat pertanyaan-pertanyaan lain datang menyertai.

Aku tau, saat ini aku hidup, mengikuti irama semesta yang menari dalam dimensi waktu. dimensi yang terus saja berjalan, tanpa bisa dimundurkan bahkan walaupun itu untuk sesaat yang lalu, dimensi itu pun sama sekali tak bisa dihentikan. Ia terus saja berjalan tak perduli dengan riak-riak manusia yang mengisi dimensi itu. Aku tak pernah tau, dari mana dimensi waktu dan ruang semesta ini berasal, di mana ujungnya dan ke mana tujuan pergerakannya. Yang aku tau, aku hadir di sini, di alam semesta ini, saat ini, tanpa tau diriku sebelum diciptakan ada di mana, dan mengapa saat ini aku ada. Aku “ada” untuk apa, dan mengapa saat ini hanya ada kekosongan. Yah, hanya ada kekosongan. Bukan kekosongan dari materi, tapi dari sesuatu yang entah harus kusebut apa. Mungkin kekosongan akan tujuan. Bertahun-tahun usia terhabiskan, ia berlalu tanpa jejak yang membekas jelas, dan hingga saat ini aku tak tau bagaimana cara menggunakan dimensi waktu yang kumiliki dengan baik.

Aku tahu, mata dari fisikku terbuka, namun mata yang ada di dalam diri yang menjadi penggerak dan pemberi stimulus bagi apa yang akan aku lakukan sedang tertutupi tirai yang tebal dan tinggi. Tidak, atau mungkin “mata” ku sedang sakit. Sakit, karena digerogoti sesuatu. Atau bahkan ia buta. Oh tidak, semoga itu tidak terjadi.

Alam mulai menganggu nalarku, bising dari mahluk-mahluk lain mulai mengusikku. Ku arahkan mata seluas cakrapandang, hingga menjumpai kaki langit. Semilir angin berhembus sejuk. Kembali muncul pertanyaan “siapakah aku?” apakah aku layaknya debu yang hadirnya hanya sebagai sesuatu yang turut meramaikan semesta ini kemudian berlalu begitu saja. Tidak, mungkin aku salah. Bahkan debu sekalipun memiliki arti. Tanpanya, tak akan ada tetesan-tetesan bening yang jatuh dari awan gelap. Butiran mungil dan halusnya sangat berarti, saat ia bergandengan dengan uap uap air menuju ke langit dan pada akhirnya menjenuhkan awan yang oleh angin diterbangkan dan dijatuhkan sebagai tetesan bening di tempat yang telah ditentukan. Benar, aku telah keliru. Tanpa kehadiran butiran debu, mungkin kita sedikit kesusahan mendefenisikan kata “bersih”, yah walaupun yang mengotori tak hanya debu. Setiap yang ada pasti memiliki makna, makna untuk dirinya dan untuk apa ia hadir. Dan tentu demikian juga dengan “aku”. Pasti di balik kehadiran “aku” ada sesuatu yang syarat dengan makna. Hanya saja mungkin nalar dan “mata” ku sedang tertutupi hingga aku tak bisa memahaminya. Aku mungkin hanya tak bisa menggunakan nalar dan mengkorelasikannya dengan apa yang ada di dalam diriku, apa yang disebut tingkatan-tingkatan dalam tubuh halus ku saat ini.

Lalu siapakah aku ? saat melangkah di jalan pengetahuan diri, “aku” mendapatkan perspektif baru dari setiap kenyataan yang telah teridentifikasi pada perjalanan hidupku. Manusia tersusun atas tubuh kasar dan tubuh halus dengan beragam tingkatan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun aku mengetahui aku adalah perempuan, atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan siapa diriku. Dan aku bukan pula hanya tubuh dan pancaindra.  “aku” memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh secara keseluruhan.

Aku memiliki emosi dan keadaan psikologis yang turut mempengaruhiku, tetapi itu juga tidak mampu menjelasan siapa “aku” sebenarnya. Bahkan sering aku berkata “aku harus mengendalikan perangaiku” yang menunjukan dengan jelas, bahwa terdapat lebih dari satu agen psikologis di dalam diriku. Ya, aku dan kalian memang memiliki emosi,tetapi kita tidak lantas didefenisikan olehnya. Dengan pemikiran yang sama, aku juga memiliki fakultas imajinatif yang mampu mencipta berbagai gambaran dan orang biasa hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk imajinal itu. Tetapi sekali lagi, aku tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk itu.

Aku juga memiliki memori yang menjadi tempat penyimpanan gambar-gambar dan hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman dalam perjalanan hidupku. Sebagian besar orang menganggap pengalaman-pengalaman yang teringat setiap hari sebagai bagian utama dari identitas mereka. Tapi bukankah, aku dan kalian bisa lupa banyak hal dan masih tetap sebagai manusia yang sama.

Banyak yang mengatakan jika manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tubuh, emosi, fakultas imajinatif atau memori, maka tentunya kita adalah apa yang kita pikirkan. Tapi tidak, aku kurang setuju. Di dalam “aku” masih ada tingkatan yang lebih tinggi yaitu hati. Ia adalah organ pemersatu yang terkait dengan akal. Dan jika aku bertanya “siapakah aku?” maka kemudian aku bisa melihat ke dalam hati.

Lalu apa yang aku lakukan di alam semesta ini dan apa yang harus aku lakukan ? hmm, apa yang aku lakukan ini adalah hidup dalam mimpi yang disebut kehidupan sehari-hari, dalam keadaan melupakan apa yang disebut realitas ilahi. Dan kita berada dalam keadaan seperti itu karena kita telah lupa siapa diri kita. Dan aku saat ini ingin terbangun dan menyadari keadaan primordialku sebagai manusia, yang terkadang terkubur jauh di balik banyak lapisan sampah kealpaan. Aku  teringat sabda Rasulullah “Manusia itu tertidur dan ketika meninggal ia terbangun”. Tidak, aku tidak ingin menjadi manusia seperti itu. Aku ingin bangun dan menerima kematian egoku sebagai manusia, semampu apa yang bisa kulakukan. Aku ingin terbangun sekarang, di bawah kondisi yang melibatkan akal dan kehendak bebas daripada terbangun dalam situasi yang tidak berdaya.

Aku ingin terbangun, melalui pintu yang terbuka ke ruang batin hati, karena kesempatan tidak selalu ada, dan boleh jadi napasku yang selanjutnya menjadi napas terakhir. Jika kita tidak melewati pintu itu sekarang maka pintu itu yang akan menutup pada saat dimensi waktu untuk masing-masing kita telah habis, dan mungkin saja pintu itu sudah tidak terbuka bagi kita esok.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, tidak ada jaminan bahwa hidup akan terus berada dalam keadaan yang kita miliki sebagai manusia di dunia ini setelah mencapai keadaan mewujud setelah mati. Aku kembali teringat hadis Rasulullah “Matilah sebelum engkau mati”, yang ditujukan kepada mereka yang bertelinga untuk mendengar dan yang bermata untuk “melihat”

Hidup ini adalah pilihan dan kehendak. Saat kita memilih untuk hidup dengan memegang janji “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah” dan amanah terberat. Amanah yang sulit dipikul, bahkan gunung tak mau memikulnya. Tetapi manusia dengan beraninya mengambil amanah itu, dan memang seperti itulah kehendak pencipta. Hidup adalah pilihan tetapi terkadang hidup tidak mempersilahkan kita untuk memilih. Tapi saat ini aku mengerti, bahwa kita hidup untuk menjalankan amanah itu dan menepati janji yang telah diikrarkan, meskipun itu sulit. Aku yakin, jika Dia menginginkan kita untuk suatu urusan, maka Dia akan membuat kita siap menghadapi urusan itu.

Ku tengadahkan kepala ke langit. Ku tatap warna birunya yang cerah, awan awan mengepul indah, bergerak perlahan, membentuk gambar dan akhirnya hancur, memisahkan diri. Alam ini sungguh indah, banyak hal yang mengajarkanku. Karena tentu hadirnya memiliki makna. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Ad-Dukhaan ayat 38-39.
"Dan tidaklah kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"

Aku kembali merenungi, semesta ini, pergantian siang dan malam, bumi dan apa yang ada di dalamnya, serta planet-planet lain, berjalan dalam ritmenya.


Aku teringat akan sebuah hadis Qudsi yang pernah ku baca dalam sebuah buku. “Aku adalah Khazanah tersembunyi; Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan dunia agar Aku dikenal”. Ya, aku mulai memahami, salah satu tujuanku diciptakan adalah mengenal Allah, di antaranya melalui alam semesta ini. Semesta adalah bagian kecil dari pengungkapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, semesta yang juga disebut cermin “ketiadaan” yang memantulkan “citra” dari Realitas yang ada di hadapannya, Realitas itu tidak terpengaruh oleh pantulannya atau cerminnya dan tidak ada perubahan yang akan terjadi padanya jika cermin itu pecah. 

Semesta, yang biasa disebut ayat kauniyah adalah tanda tanda yang dapat mengajari orang-orang yang berakal. Ya, hanya orang-orang yang berakal, yang menggunakan segenap perangkat pemberian dari Pencipta untuk mentafakkuri apa yang ada di alam semesta ini, membaca helai demi helai rahasia yang terdapat pada sebuah pohon kehidupan raksasa, yang mungkin tak dapat terungkap sepenuhnya, tapi setidaknya aku dan kalian pernah mencoba itu sebagai tanda bahwa kita adalah mahluk-Nya yang berakal.