Rabu, 18 Mei 2016
Kamis, 12 Mei 2016
CERPEN "Bintang di Siang Hari"
Bintang di siang hari
Mentari nampak masih malu mengepakkan jubahnya, yang ditandai dengan rona jingga dari ufuk timur.
Perlahan gugusan awan berjejer rapi menutupi langit yang masih kelam. Bulan mengedipkan
matanya, mungkin sebagai isyarat bahwa ia akan kembali ke peraduannya karena cahaya
mentari akan mengalahkan sinarnya. Luna menghirup udara dalam-dalam. Terasa
jelas uap air dari udara yang lembab masuk ke dalam tenggorokannya. Udara itu
memulai perjalanan barunya, berganti dari lingkungan atmosfer, membawa oksigen
masuk ke dalam aliran darahnya.
Setiap orang pasti menyukai suasana pagi seperti ini, tak
terkecuali seorang Luna yang sejak tadi berada di jalan ini. Di kanan kiri
jalan gugusan rumah dengan stelan modis bejejer dengan rapinya. Earphone berwarna merah jambu nampak
melekat di kepalanya yang berlapiskan jilbab kaos hijau tosca. Setelannya sederhana,
dengan sweater abu-abu dan celana olahraga hitam bercorak garis-garis putih. Ia
hanyut dalam lagu yang ada di playlist. Langkahnya pelan saja. Tangannya sejak
tadi di letakkan di dalam kantong sweater yang ia kenakan.
Sesakali gadis itu mengangguk-nganggukan kepala seperti
hanyut dengan setiap alunan lagu, menelisik alam bawah sadarnya, hingga tak
memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Sesekali pandangan
orang lain tertuju padanya, mungkin mereka sedikit risih dengan sikap Luna itu.
Namun, sang gadis tak menyadari itu dan terus saja melangkahkan kaki dengan sesekali
berlari-lari pendek.
Cukup lama ia seperti itu. Yang benar saja, semua orang yang
menjumpainya adalah tetangga yang tentunya ia kenal, tapi tak satu pun sapaan
mengudara dari bibir mungilnya itu. Hingga membuat orang lain juga merasa
enggan menegur. Dari arah belakang seseorang nampak berlari kencang mengejar Luna.
Semakin dekat langkah itu semakin cepat dan pada akhirnya tangan berkulit sawo
matang menyentuh bahu Luna. Namanya Naima. Ia adalah sahabat Luna. Tubuhnya
yang sepuluh senti lebih tinggi kini berdiri sejajar dengan Luna. Nafasnya
terengah-engah, seakan ia ingin menghirup semua udara yang ada. Tatapannya sayu,
nampaknya ia ingin mengucapkan banyak hal namun tersandung oleh nafasnya yang
masih tak karuan.
"Tarik
nafas dalam-dalam dulu naima, baru kamu bicara" ucap Luna menenangkan sahabatnya
itu sambil mengukir senyum tipis yang sungguh manis.
Kata-katanya itu direspon dengan anggukan dari naima. Beberapa detik berlalu,
nafas naima mulai normal.
"sejak
tadi aku manggil kamu tapi gak ada respon, sampe doer bibirku ini
berteriak"
Luna tertawa mendengar celotehan sahabatnya itu.
"Sory-sory,
kamu kan liat sendiri aku pake earphone"
"Hari
ini kan kita mau ke pegunungan, kamu gak mau siap-siap ? Kita harus ada di
kampus loh jam delapan tepat, kalau tidak kordinator asisten kembali mengurai
celotehan panjangnya Entah bilang kita itu harus disiplinlah, gak boleh pake
jam karet, dan kata yang paling aku gak suka kalau kordinator nyumpain dengan
kata andalannya, yang tidak disiplin nanti MANDUL !!!"
Naima berceloteh panjang
lebar layaknya lintah penggunjing yang mengurai semua kejelekan koordinator asisten
tanpa rem. Kata- katanya jika dapat diurai mungkin separuh jalan sudah penuh
dengan kata-kata. Luna hanya
menggelengkan kepala mendengar celotehan naima, mungkin juga dalam hatinya
terselip rasa jengkel dengan sikap naima yang merusak suasana pagi yang harusnya
penuh dengan semangat. Namun naima dengan segala uneg-unegnya seaian ingin menutup
semangat pagi ini.
"Iya.
Ntar jam 7 aku siap-siap. Aku masih mau nikmatin udara pagi yang sejuk
ini" sambil tersenyum.
Senyum manisnya itu selalu mampu membuat siapapun yang
melihatnya menjadi tenang. Betapa tidak, bibirnya yang merah merekah sangat
menyejukkan mata. Bak setetes air yang jatuh di tanah berpasir, ia akan
seketika terserap ke dalam hati orang-orang yang melihatnya.
…
Dari
kejauhan, terlihat seorang gadis berlari dengan cepat dan nafas tergopoh-gopoh,
langkahnya makin lama makin lambat saja. Dengan cepat, ia menyusuri koridor
kampus yang saat itu nampak sepi, satu persatu pintu di lorong ruangan ia buka.
Luna
terus berlari
hingga pada akhirnya mencapai persimpangan lorong dan berbelok ke arah kanan. Langkahnya
mulai pelan, tatapannya tertuju pada lapangan
yang berada di tengah-tengah gedung kampus. Di sana, nampak teman-teman
seangkatan Luna yang sedang berbaris. Mereka nampak antusias mendengarkan
nasihat-nasihat yang disampaikan oleh kordinator praktikum. Ya, kali ini Luna
dan teman-temannya akan ke pegunungan untuk melakukan praktek lapangan dan mencari
tanaman yang akan dijadikan bahan praktikum botani nanti. Dengan gugup, Luna mengayunkan
langkah ke arah salah satu barisan yang berada di bagian tepi kiri. Keberuntungan
kali ini berpihak pada Luna, karna pak kordinator tidak menyadari
kedatangannya, sehingga dengan mudahnya ia bisa bergabung dengan yang lain tanpa
terlebih dahulu telinganya di panasi oleh kata-kata dari pak kordinator.
"Lun,
kamu dari mana aja sih. Kok terlambat" sapa Naima.
"Humm..
Jelas-jelas aku dari luar Naima." jawab Luna dengan nafas yang masih tidak beraturan.
"Maksud
aku, kamu abis ngapain kok bisa terlambat"
"Yah,
itu sih beda lagi redaksi pertanyaannya Naima, tadi tu ban motor adikku bocor, trus
aku bantu nyari tukang tambal ban, tapi sialnya, ini pagi-pagi buta, jadi ngaak ada bengkel
yang buka. Terpaksa deh aku naik angkot. Kamu kan tau sendiri kalau naik
angkot, jaraknya itu cukup jauh karena harus ikut jalur angkot, di tambah lagi
macetnya minta ampun" Luna menjelaskan panjang lebar, sementara Naima hanya ngangguk-ngangguk
tak jelas antara mengerti atau cuman pura-pura mendengar. Kan cuman ada dua
pilihan tuh kalau orang di ajak bicara trus bisanya cuman ngangguk-ngangguk.
"Baguslah"
respon Naima
"Hah.. Kok bagus sih"
"Yah
bagus donk karna kamu masih sempat dapat angkot" jawab Naima dengan senyum nyengir ala anak
manis.
"Ia
juga sih" angguk Luna tanda mengerti
Hening, tidak ada lagi percakapan antara Luna dan Naima. Masing-masing sibuk
mendengarkan nasehat dari kordinator asisten. Luna sesekali melayangkan pandang
ke arah barisan yang berada di sebelah kanan. Matanya mencari-cari sosok
jangkung yang beberapa pekan terakhir ini sering bersemedi di pikirannya,
meskipun sudah ia usir semampunya. matanya tak menjumpai sosok itu, membuat
rasa kecewa bertengger di hatinya. Kembali Luna mendengar nasehat kordinator
asisten.
Tiba saatnya pembagian kelompok Setiap kelompok akan menaiki
bus yang sama menuju puncak. Rasa harap menjelma di dalam hati Luna, ia ingin
jika bisa sekolompok dengan orang yang tadi ia cari-cari. Dan bagai kejatuhan
bunga tomat dari atas kepalanya, harapannya menjadi kenyataan. "Memang
benar hukum kesetimbangan itu, memikirkan sesuatu akan mendatangkan apa yag
diinginkan itu" gumamnya dalam hati di ikuti senyuman manis yang
tersungging di bibirnya.
"Heeii.. Kok senyum-senyum
lun" senggol Naima yang berdiri di sebelah kanannya.
"Haa..
Iya kenapa Naima
?"
"Gak
ada angin, gak ada hujan kok senyum-senyum sendiri?" ledek Naima
"Kalau
ada angin dan hujan, aku sih gak bakalan senyum, tapi melarikan diri ke tempat
yang aman, gimana sih" sambung Luna
"Hmm..
Memang yah kalau orang pinter bawaannya serius mulu, maksud aku kan gak ada
sesuatu yang lucu dan lain sebagainya, kok senyum-senyum? "
"Naimaku yang cantik, setiap orang
kan punya imajinasi yang bisa menghadirkan sejuta rasa, bisa bikin orang senang
ataupun sedih, gak mesti ada sesuatu dari luar" respon Luna dengan nada sesikit menekankan, ya
walaupun sebenarnya ia berusaha menutupi apa yang membuatnya tersenyum sendiri.
"Iya
deh bu guru
Luna" Naima menyerah
Luna
nampak puas, ia tidak mesti menjawab pertanyaan dari Naima.
…
Perjalanan dimulai, satu persatu mahasiswa menuju bus dengan
membopong ransel besar, bekal pakaian dan perlengkapan lain selama 2 hari di
puncak.
Luna melangkahkan kaki dengan hentakan semangat. Seperti
biasa, ia sangat senang jika mengunjungi tempat baru apalagi ini ke daerah
pegunungan dan bersama teman-teman sekampusnya, terlebih lagi kata temannya
yang abis ceklok alias cek lokasi, di sana tempatnya sangat indah, dijuluki
desa seribu bunga karena disana ada banyak bunga, mulai dari bunga yang biasa dijumpai di kota sampai bunga
yang cukup langkah seperti bunga masamba dan Edelwiss.
"hmm.. Pasti
sangat menyenangkan" batin Luna.
"Luna,
ayo duduk di sampingku, di sini masih kosong" teriak Dias yang duduk tepat
di belakang supir. Dias adalah teman sekelas Luna.
Luna yang masih bingung untuk memilih ingin duduk di mana
seketika mengikuti ajakan Dias. Dengan sigap Luna meletakkan tasnya di tempat
penyimpanan tas dan segera menghempaskan tubuhnya di atas kursi bus dengan
balutan kain berwarna biru. Ia mengambil posisi di dekat jendela agar bisa melihat
pemandangan selama perjalanan. Ada kelebihan ia duduk di belakang pak supir,
karna tepat di depannya ada cermin yang membuatnya mengetahui apa saja yang
dilakukan oleh orang-orang yang berada di belakangnya. Tepat di bangku ke 3
dari belakang, di sana duduk sosok yang sempat ia cari di halaman kampus.
Lagi-lagi senang membuncah di dalam dada Luna, walaupun hanya dengan menatap wajahnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, bus berhenti
untuk isoma alias istirahat, sholat dan makan. Bus berhenti tepat di depan
sebuah mesjid, karena bertepatan dengan waktu sholat dhuhur, Luna mendahulukan
untuk sholat sebelum makan.
Setelah berwudhu, Luna segera berjalan menuju tempat sholat, namun ada satu hal
yang mengejutkan Luna. Sosok itu ternyata kini berada di depannya, menatapnya dengan teduh,
Luna berpura-pura melap butiran air yang bergelantungan di wajahnya. Melihat
tatapan itu, Luna jadi seperti kerupuk yang disiram air panas. Luna hanya
berjalan cepat menjauhinya, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Jangankan
mengucapkan sepatah kata, untuk bertatapan lebih lama saja Luna tak pernah berani.
Luna hanya bisa menatapnya dari kejauhan, memandangi kesederhanaannya dalam
bersikap, memandang keteduhan senyumnya.
Di puncak, setiap rombongan bus di beri tempat khusus masing
untuk beristirahat sejenak kemudian segera melakukan agenda pertama yaitu
menuju ke beberapa tempat untuk berburu berbagai jenis tanaman tertentu. Udara
terasa sangat sejuk meski saat itu pukul 2 siang, jika di kota tak akan seperti
ini. Di kota, jam 2 siang biasanya hanya dihabiskan dengan beraktifitas di dalam ruangan,
betapa tidak, mentari sangat agresif menyapa bumi dengan radiasi panasnya yang
sangat menyengat saat musim kemarau. Berbeda dengan kota, tempat ini sangat dingin,
jarak pandang hanya sekitar 15 meter, udara terasa sangat dingin merasuk ke
dalam pori-pori jaket ungu yang dikenakan Luna. Di temani teman-teman sekelompoknya, Luna berjalan membelah
kabut di antara perkebunan wortel yang di selingi oleh rumah-runah warga yang
hanya bisa si hitung jari. Di pekarangan rumah warga banyak sekali karangan bunga
dengan warna yang bermacam-macam, ada bunga mawar, krisan, melati, bunga-bunga
lain yang membuat Luna kagum, kagum dengan keindahannya dan tentunya semakin
menambah rasa kagumnya pada pencipta semua ini.
Lelah mulai terasa, Luna menghentikan langkahnya, tiba-tiba
sosok itu hadir, ia sepertinya melangkah ke arah Luna.
"Aduh,
bagaimana nih." batin Luna, kakinya kini seakan menjelma jadi agar-agar, sepertinya
tidak mampu menopang tubuhnya. "Lun, bawa sanatai aja" nasehatnya
pada diri sendiri.
Ia kemudian memberanikan diri berjalan berdampingan
dengannya, mesti hanya saling menganggap sebagai angin. Yah, angin yang ada namun
tak terlihat. Tak pernah ada yang peduli tuk berusaha melihat angin, karena
memang ia tak terlihat namun jelas adanya.
Semua ini bermula dari tatapan bintang. Bintang itu bersinar meskipun siang hari, menyapa ketidaksadaran Luna bahwa selama ini bintang itu sering mengawasinya dari
jarak yang jauh. Bintang itu hadir di matanya, memberikan harapan yang mungkin
tak terbalaskan. Bintang itu bersinar di matanya, sosok yang mengisi pikiran
Luna saat ini.
CERPEN "Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan"
Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan
“Aku
berpikir maka aku ada”. Kata-kata dari Descartes ini sangat populer, dan kata
kata inilah yang saat ini mengaung di pikiranku, saat aku termenung. Pikiranku
berjalan menyusuri jalannya sendiri, melupakan eksistensi fisikku yang berada
di alam hampa. Aku bernapas, dan bergerak atau mungkin lebih tepat disebut tergerakkan.
Tergerakkan oleh sesuatu yang ada di dalam diriku. Entah sesuatu apa itu, ia
tak berwujud namun mampu memberikan dorongan bagiku untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Kekuatan itu sangat kuat, hingga mampu mengalahkan nalarku.
Nalarku terkalahkan olehnya. Nalarku inginkan ketenangan, namun aku tak bisa
menggapai ketenangan itu karena ditentang olehnya.
Ku
hembuskan nafas sekuat-kuatnya. Terasa udara hangat menyembul keluar dari
rongga hidungku. Aku begitu hampa. Fakultas imagi dan nalar mengambil alih
diriku, membawaku menyusuri lorong gelap dengan tepi bertembok kokoh dan raut
mencekam. Di sini begitu sepi, aku takut. Sedang apa aku di alam hampa ini ? apa
yang aku lakukan di sini? Dan untuk apa aku ada? Pertanyaan-pertanyaan itu satu
persatu hadir membuat nalarku sesak dan tersumpal dengan banyak hal dan jawaban
tak pasti. Ini semakin sulit saat pertanyaan-pertanyaan lain datang menyertai.
Aku
tau, saat ini aku hidup, mengikuti irama semesta yang menari dalam dimensi
waktu. dimensi yang terus saja berjalan, tanpa bisa dimundurkan bahkan walaupun
itu untuk sesaat yang lalu, dimensi itu pun sama sekali tak bisa dihentikan. Ia
terus saja berjalan tak perduli dengan riak-riak manusia yang mengisi dimensi
itu. Aku tak pernah tau, dari mana dimensi waktu dan ruang semesta ini berasal,
di mana ujungnya dan ke mana tujuan pergerakannya. Yang aku tau, aku hadir di
sini, di alam semesta ini, saat ini, tanpa tau diriku sebelum diciptakan ada di
mana, dan mengapa saat ini aku ada. Aku “ada” untuk apa, dan mengapa saat ini
hanya ada kekosongan. Yah, hanya ada kekosongan. Bukan kekosongan dari materi,
tapi dari sesuatu yang entah harus kusebut apa. Mungkin kekosongan akan tujuan.
Bertahun-tahun usia terhabiskan, ia berlalu tanpa jejak yang membekas jelas,
dan hingga saat ini aku tak tau bagaimana cara menggunakan dimensi waktu yang
kumiliki dengan baik.
Aku
tahu, mata dari fisikku terbuka, namun mata yang ada di dalam diri yang menjadi
penggerak dan pemberi stimulus bagi apa yang akan aku lakukan sedang tertutupi
tirai yang tebal dan tinggi. Tidak, atau mungkin “mata” ku sedang sakit. Sakit,
karena digerogoti sesuatu. Atau bahkan ia buta. Oh tidak, semoga itu tidak
terjadi.
Alam
mulai menganggu nalarku, bising dari mahluk-mahluk lain mulai mengusikku. Ku
arahkan mata seluas cakrapandang, hingga menjumpai kaki langit. Semilir angin
berhembus sejuk. Kembali muncul pertanyaan “siapakah aku?” apakah aku layaknya
debu yang hadirnya hanya sebagai sesuatu yang turut meramaikan semesta ini
kemudian berlalu begitu saja. Tidak, mungkin aku salah. Bahkan debu sekalipun
memiliki arti. Tanpanya, tak akan ada tetesan-tetesan bening yang jatuh dari
awan gelap. Butiran mungil dan halusnya sangat berarti, saat ia bergandengan
dengan uap uap air menuju ke langit dan pada akhirnya menjenuhkan awan yang
oleh angin diterbangkan dan dijatuhkan sebagai tetesan bening di tempat yang
telah ditentukan. Benar, aku telah keliru. Tanpa kehadiran butiran debu,
mungkin kita sedikit kesusahan mendefenisikan kata “bersih”, yah walaupun yang
mengotori tak hanya debu. Setiap yang ada pasti memiliki makna, makna untuk
dirinya dan untuk apa ia hadir. Dan tentu demikian juga dengan “aku”. Pasti di
balik kehadiran “aku” ada sesuatu yang syarat dengan makna. Hanya saja mungkin
nalar dan “mata” ku sedang tertutupi hingga aku tak bisa memahaminya. Aku
mungkin hanya tak bisa menggunakan nalar dan mengkorelasikannya dengan apa yang
ada di dalam diriku, apa yang disebut tingkatan-tingkatan dalam tubuh halus ku
saat ini.
Lalu
siapakah aku ? saat melangkah di jalan pengetahuan diri, “aku” mendapatkan
perspektif baru dari setiap kenyataan yang telah teridentifikasi pada
perjalanan hidupku. Manusia tersusun atas tubuh kasar dan tubuh halus dengan
beragam tingkatan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun aku mengetahui aku adalah
perempuan, atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan siapa diriku. Dan aku
bukan pula hanya tubuh dan pancaindra.
“aku” memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh
secara keseluruhan.
Aku
memiliki emosi dan keadaan psikologis yang turut mempengaruhiku, tetapi itu
juga tidak mampu menjelasan siapa “aku” sebenarnya. Bahkan sering aku berkata
“aku harus mengendalikan perangaiku” yang menunjukan dengan jelas, bahwa
terdapat lebih dari satu agen psikologis di dalam diriku. Ya, aku dan kalian
memang memiliki emosi,tetapi kita tidak lantas didefenisikan olehnya. Dengan
pemikiran yang sama, aku juga memiliki fakultas imajinatif yang mampu mencipta
berbagai gambaran dan orang biasa hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk
imajinal itu. Tetapi sekali lagi, aku tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk itu.
Aku
juga memiliki memori yang menjadi tempat penyimpanan gambar-gambar dan hal-hal
yang berkaitan dengan pengalaman dalam perjalanan hidupku. Sebagian besar orang
menganggap pengalaman-pengalaman yang teringat setiap hari sebagai bagian utama
dari identitas mereka. Tapi bukankah, aku dan kalian bisa lupa banyak hal dan
masih tetap sebagai manusia yang sama.
Banyak
yang mengatakan jika manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tubuh, emosi,
fakultas imajinatif atau memori, maka tentunya kita adalah apa yang kita
pikirkan. Tapi tidak, aku kurang setuju. Di dalam “aku” masih ada tingkatan
yang lebih tinggi yaitu hati. Ia adalah organ pemersatu yang terkait dengan
akal. Dan jika aku bertanya “siapakah aku?” maka kemudian aku bisa melihat ke
dalam hati.
Lalu
apa yang aku lakukan di alam semesta ini dan apa yang harus aku lakukan ? hmm,
apa yang aku lakukan ini adalah hidup dalam mimpi yang disebut kehidupan
sehari-hari, dalam keadaan melupakan apa yang disebut realitas ilahi. Dan kita
berada dalam keadaan seperti itu karena kita telah lupa siapa diri kita. Dan
aku saat ini ingin terbangun dan menyadari keadaan primordialku sebagai
manusia, yang terkadang terkubur jauh di balik banyak lapisan sampah kealpaan.
Aku teringat sabda Rasulullah “Manusia
itu tertidur dan ketika meninggal ia terbangun”. Tidak, aku tidak ingin menjadi
manusia seperti itu. Aku ingin bangun dan menerima kematian egoku sebagai
manusia, semampu apa yang bisa kulakukan. Aku ingin terbangun sekarang, di
bawah kondisi yang melibatkan akal dan kehendak bebas daripada terbangun dalam
situasi yang tidak berdaya.
Aku
ingin terbangun, melalui pintu yang terbuka ke ruang batin hati, karena
kesempatan tidak selalu ada, dan boleh jadi napasku yang selanjutnya menjadi
napas terakhir. Jika kita tidak melewati pintu itu sekarang maka pintu itu yang
akan menutup pada saat dimensi waktu untuk masing-masing kita telah habis, dan
mungkin saja pintu itu sudah tidak terbuka bagi kita esok.
Aku
menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, tidak ada jaminan bahwa hidup akan terus
berada dalam keadaan yang kita miliki sebagai manusia di dunia ini setelah
mencapai keadaan mewujud setelah mati. Aku kembali teringat hadis Rasulullah
“Matilah sebelum engkau mati”, yang ditujukan kepada mereka yang bertelinga
untuk mendengar dan yang bermata untuk “melihat”
Hidup
ini adalah pilihan dan kehendak. Saat kita memilih untuk hidup dengan memegang
janji “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah” dan
amanah terberat. Amanah yang sulit dipikul, bahkan gunung tak mau memikulnya.
Tetapi manusia dengan beraninya mengambil amanah itu, dan memang seperti itulah
kehendak pencipta. Hidup adalah pilihan tetapi terkadang hidup tidak
mempersilahkan kita untuk memilih. Tapi saat ini aku mengerti, bahwa kita hidup
untuk menjalankan amanah itu dan menepati janji yang telah diikrarkan, meskipun
itu sulit. Aku yakin, jika Dia menginginkan kita untuk suatu urusan, maka Dia
akan membuat kita siap menghadapi urusan itu.
Ku
tengadahkan kepala ke langit. Ku tatap warna birunya yang cerah, awan awan
mengepul indah, bergerak perlahan, membentuk gambar dan akhirnya hancur,
memisahkan diri. Alam ini sungguh indah, banyak hal yang mengajarkanku. Karena
tentu hadirnya memiliki makna. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Ad-Dukhaan ayat 38-39.
"Dan tidaklah kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"
Aku kembali merenungi,
semesta ini, pergantian siang dan malam, bumi dan apa yang ada di dalamnya,
serta planet-planet lain, berjalan dalam ritmenya.
Aku
teringat akan sebuah hadis Qudsi yang pernah ku baca dalam sebuah buku. “Aku
adalah Khazanah tersembunyi; Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan dunia agar
Aku dikenal”. Ya, aku mulai memahami, salah satu tujuanku diciptakan adalah
mengenal Allah, di antaranya melalui alam semesta ini. Semesta adalah bagian
kecil dari pengungkapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, semesta yang juga
disebut cermin “ketiadaan” yang memantulkan “citra” dari Realitas yang ada di
hadapannya, Realitas itu tidak terpengaruh oleh pantulannya atau cerminnya dan
tidak ada perubahan yang akan terjadi padanya jika cermin itu pecah.
Semesta, yang
biasa disebut ayat kauniyah adalah tanda tanda yang dapat mengajari orang-orang
yang berakal. Ya, hanya orang-orang yang berakal, yang menggunakan segenap
perangkat pemberian dari Pencipta untuk mentafakkuri apa yang ada di alam
semesta ini, membaca helai demi helai rahasia yang terdapat pada sebuah pohon
kehidupan raksasa, yang mungkin tak dapat terungkap sepenuhnya, tapi setidaknya
aku dan kalian pernah mencoba itu sebagai tanda bahwa kita adalah mahluk-Nya
yang berakal.
Langganan:
Postingan (Atom)