Kamis, 12 Mei 2016

CERPEN "Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan"

Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan

“Aku berpikir maka aku ada”. Kata-kata dari Descartes ini sangat populer, dan kata kata inilah yang saat ini mengaung di pikiranku, saat aku termenung. Pikiranku berjalan menyusuri jalannya sendiri, melupakan eksistensi fisikku yang berada di alam hampa. Aku bernapas, dan bergerak atau mungkin lebih tepat disebut tergerakkan. Tergerakkan oleh sesuatu yang ada di dalam diriku. Entah sesuatu apa itu, ia tak berwujud namun mampu memberikan dorongan bagiku untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kekuatan itu sangat kuat, hingga mampu mengalahkan nalarku. Nalarku terkalahkan olehnya. Nalarku inginkan ketenangan, namun aku tak bisa menggapai ketenangan itu karena ditentang olehnya.

Ku hembuskan nafas sekuat-kuatnya. Terasa udara hangat menyembul keluar dari rongga hidungku. Aku begitu hampa. Fakultas imagi dan nalar mengambil alih diriku, membawaku menyusuri lorong gelap dengan tepi bertembok kokoh dan raut mencekam. Di sini begitu sepi, aku takut. Sedang apa aku di alam hampa ini ? apa yang aku lakukan di sini? Dan untuk apa aku ada? Pertanyaan-pertanyaan itu satu persatu hadir membuat nalarku sesak dan tersumpal dengan banyak hal dan jawaban tak pasti. Ini semakin sulit saat pertanyaan-pertanyaan lain datang menyertai.

Aku tau, saat ini aku hidup, mengikuti irama semesta yang menari dalam dimensi waktu. dimensi yang terus saja berjalan, tanpa bisa dimundurkan bahkan walaupun itu untuk sesaat yang lalu, dimensi itu pun sama sekali tak bisa dihentikan. Ia terus saja berjalan tak perduli dengan riak-riak manusia yang mengisi dimensi itu. Aku tak pernah tau, dari mana dimensi waktu dan ruang semesta ini berasal, di mana ujungnya dan ke mana tujuan pergerakannya. Yang aku tau, aku hadir di sini, di alam semesta ini, saat ini, tanpa tau diriku sebelum diciptakan ada di mana, dan mengapa saat ini aku ada. Aku “ada” untuk apa, dan mengapa saat ini hanya ada kekosongan. Yah, hanya ada kekosongan. Bukan kekosongan dari materi, tapi dari sesuatu yang entah harus kusebut apa. Mungkin kekosongan akan tujuan. Bertahun-tahun usia terhabiskan, ia berlalu tanpa jejak yang membekas jelas, dan hingga saat ini aku tak tau bagaimana cara menggunakan dimensi waktu yang kumiliki dengan baik.

Aku tahu, mata dari fisikku terbuka, namun mata yang ada di dalam diri yang menjadi penggerak dan pemberi stimulus bagi apa yang akan aku lakukan sedang tertutupi tirai yang tebal dan tinggi. Tidak, atau mungkin “mata” ku sedang sakit. Sakit, karena digerogoti sesuatu. Atau bahkan ia buta. Oh tidak, semoga itu tidak terjadi.

Alam mulai menganggu nalarku, bising dari mahluk-mahluk lain mulai mengusikku. Ku arahkan mata seluas cakrapandang, hingga menjumpai kaki langit. Semilir angin berhembus sejuk. Kembali muncul pertanyaan “siapakah aku?” apakah aku layaknya debu yang hadirnya hanya sebagai sesuatu yang turut meramaikan semesta ini kemudian berlalu begitu saja. Tidak, mungkin aku salah. Bahkan debu sekalipun memiliki arti. Tanpanya, tak akan ada tetesan-tetesan bening yang jatuh dari awan gelap. Butiran mungil dan halusnya sangat berarti, saat ia bergandengan dengan uap uap air menuju ke langit dan pada akhirnya menjenuhkan awan yang oleh angin diterbangkan dan dijatuhkan sebagai tetesan bening di tempat yang telah ditentukan. Benar, aku telah keliru. Tanpa kehadiran butiran debu, mungkin kita sedikit kesusahan mendefenisikan kata “bersih”, yah walaupun yang mengotori tak hanya debu. Setiap yang ada pasti memiliki makna, makna untuk dirinya dan untuk apa ia hadir. Dan tentu demikian juga dengan “aku”. Pasti di balik kehadiran “aku” ada sesuatu yang syarat dengan makna. Hanya saja mungkin nalar dan “mata” ku sedang tertutupi hingga aku tak bisa memahaminya. Aku mungkin hanya tak bisa menggunakan nalar dan mengkorelasikannya dengan apa yang ada di dalam diriku, apa yang disebut tingkatan-tingkatan dalam tubuh halus ku saat ini.

Lalu siapakah aku ? saat melangkah di jalan pengetahuan diri, “aku” mendapatkan perspektif baru dari setiap kenyataan yang telah teridentifikasi pada perjalanan hidupku. Manusia tersusun atas tubuh kasar dan tubuh halus dengan beragam tingkatan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun aku mengetahui aku adalah perempuan, atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan siapa diriku. Dan aku bukan pula hanya tubuh dan pancaindra.  “aku” memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh secara keseluruhan.

Aku memiliki emosi dan keadaan psikologis yang turut mempengaruhiku, tetapi itu juga tidak mampu menjelasan siapa “aku” sebenarnya. Bahkan sering aku berkata “aku harus mengendalikan perangaiku” yang menunjukan dengan jelas, bahwa terdapat lebih dari satu agen psikologis di dalam diriku. Ya, aku dan kalian memang memiliki emosi,tetapi kita tidak lantas didefenisikan olehnya. Dengan pemikiran yang sama, aku juga memiliki fakultas imajinatif yang mampu mencipta berbagai gambaran dan orang biasa hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk imajinal itu. Tetapi sekali lagi, aku tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk itu.

Aku juga memiliki memori yang menjadi tempat penyimpanan gambar-gambar dan hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman dalam perjalanan hidupku. Sebagian besar orang menganggap pengalaman-pengalaman yang teringat setiap hari sebagai bagian utama dari identitas mereka. Tapi bukankah, aku dan kalian bisa lupa banyak hal dan masih tetap sebagai manusia yang sama.

Banyak yang mengatakan jika manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tubuh, emosi, fakultas imajinatif atau memori, maka tentunya kita adalah apa yang kita pikirkan. Tapi tidak, aku kurang setuju. Di dalam “aku” masih ada tingkatan yang lebih tinggi yaitu hati. Ia adalah organ pemersatu yang terkait dengan akal. Dan jika aku bertanya “siapakah aku?” maka kemudian aku bisa melihat ke dalam hati.

Lalu apa yang aku lakukan di alam semesta ini dan apa yang harus aku lakukan ? hmm, apa yang aku lakukan ini adalah hidup dalam mimpi yang disebut kehidupan sehari-hari, dalam keadaan melupakan apa yang disebut realitas ilahi. Dan kita berada dalam keadaan seperti itu karena kita telah lupa siapa diri kita. Dan aku saat ini ingin terbangun dan menyadari keadaan primordialku sebagai manusia, yang terkadang terkubur jauh di balik banyak lapisan sampah kealpaan. Aku  teringat sabda Rasulullah “Manusia itu tertidur dan ketika meninggal ia terbangun”. Tidak, aku tidak ingin menjadi manusia seperti itu. Aku ingin bangun dan menerima kematian egoku sebagai manusia, semampu apa yang bisa kulakukan. Aku ingin terbangun sekarang, di bawah kondisi yang melibatkan akal dan kehendak bebas daripada terbangun dalam situasi yang tidak berdaya.

Aku ingin terbangun, melalui pintu yang terbuka ke ruang batin hati, karena kesempatan tidak selalu ada, dan boleh jadi napasku yang selanjutnya menjadi napas terakhir. Jika kita tidak melewati pintu itu sekarang maka pintu itu yang akan menutup pada saat dimensi waktu untuk masing-masing kita telah habis, dan mungkin saja pintu itu sudah tidak terbuka bagi kita esok.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, tidak ada jaminan bahwa hidup akan terus berada dalam keadaan yang kita miliki sebagai manusia di dunia ini setelah mencapai keadaan mewujud setelah mati. Aku kembali teringat hadis Rasulullah “Matilah sebelum engkau mati”, yang ditujukan kepada mereka yang bertelinga untuk mendengar dan yang bermata untuk “melihat”

Hidup ini adalah pilihan dan kehendak. Saat kita memilih untuk hidup dengan memegang janji “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah” dan amanah terberat. Amanah yang sulit dipikul, bahkan gunung tak mau memikulnya. Tetapi manusia dengan beraninya mengambil amanah itu, dan memang seperti itulah kehendak pencipta. Hidup adalah pilihan tetapi terkadang hidup tidak mempersilahkan kita untuk memilih. Tapi saat ini aku mengerti, bahwa kita hidup untuk menjalankan amanah itu dan menepati janji yang telah diikrarkan, meskipun itu sulit. Aku yakin, jika Dia menginginkan kita untuk suatu urusan, maka Dia akan membuat kita siap menghadapi urusan itu.

Ku tengadahkan kepala ke langit. Ku tatap warna birunya yang cerah, awan awan mengepul indah, bergerak perlahan, membentuk gambar dan akhirnya hancur, memisahkan diri. Alam ini sungguh indah, banyak hal yang mengajarkanku. Karena tentu hadirnya memiliki makna. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Ad-Dukhaan ayat 38-39.
"Dan tidaklah kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"

Aku kembali merenungi, semesta ini, pergantian siang dan malam, bumi dan apa yang ada di dalamnya, serta planet-planet lain, berjalan dalam ritmenya.


Aku teringat akan sebuah hadis Qudsi yang pernah ku baca dalam sebuah buku. “Aku adalah Khazanah tersembunyi; Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan dunia agar Aku dikenal”. Ya, aku mulai memahami, salah satu tujuanku diciptakan adalah mengenal Allah, di antaranya melalui alam semesta ini. Semesta adalah bagian kecil dari pengungkapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, semesta yang juga disebut cermin “ketiadaan” yang memantulkan “citra” dari Realitas yang ada di hadapannya, Realitas itu tidak terpengaruh oleh pantulannya atau cerminnya dan tidak ada perubahan yang akan terjadi padanya jika cermin itu pecah. 

Semesta, yang biasa disebut ayat kauniyah adalah tanda tanda yang dapat mengajari orang-orang yang berakal. Ya, hanya orang-orang yang berakal, yang menggunakan segenap perangkat pemberian dari Pencipta untuk mentafakkuri apa yang ada di alam semesta ini, membaca helai demi helai rahasia yang terdapat pada sebuah pohon kehidupan raksasa, yang mungkin tak dapat terungkap sepenuhnya, tapi setidaknya aku dan kalian pernah mencoba itu sebagai tanda bahwa kita adalah mahluk-Nya yang berakal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar