Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan
“Aku
berpikir maka aku ada”. Kata-kata dari Descartes ini sangat populer, dan kata
kata inilah yang saat ini mengaung di pikiranku, saat aku termenung. Pikiranku
berjalan menyusuri jalannya sendiri, melupakan eksistensi fisikku yang berada
di alam hampa. Aku bernapas, dan bergerak atau mungkin lebih tepat disebut tergerakkan.
Tergerakkan oleh sesuatu yang ada di dalam diriku. Entah sesuatu apa itu, ia
tak berwujud namun mampu memberikan dorongan bagiku untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Kekuatan itu sangat kuat, hingga mampu mengalahkan nalarku.
Nalarku terkalahkan olehnya. Nalarku inginkan ketenangan, namun aku tak bisa
menggapai ketenangan itu karena ditentang olehnya.
Ku
hembuskan nafas sekuat-kuatnya. Terasa udara hangat menyembul keluar dari
rongga hidungku. Aku begitu hampa. Fakultas imagi dan nalar mengambil alih
diriku, membawaku menyusuri lorong gelap dengan tepi bertembok kokoh dan raut
mencekam. Di sini begitu sepi, aku takut. Sedang apa aku di alam hampa ini ? apa
yang aku lakukan di sini? Dan untuk apa aku ada? Pertanyaan-pertanyaan itu satu
persatu hadir membuat nalarku sesak dan tersumpal dengan banyak hal dan jawaban
tak pasti. Ini semakin sulit saat pertanyaan-pertanyaan lain datang menyertai.
Aku
tau, saat ini aku hidup, mengikuti irama semesta yang menari dalam dimensi
waktu. dimensi yang terus saja berjalan, tanpa bisa dimundurkan bahkan walaupun
itu untuk sesaat yang lalu, dimensi itu pun sama sekali tak bisa dihentikan. Ia
terus saja berjalan tak perduli dengan riak-riak manusia yang mengisi dimensi
itu. Aku tak pernah tau, dari mana dimensi waktu dan ruang semesta ini berasal,
di mana ujungnya dan ke mana tujuan pergerakannya. Yang aku tau, aku hadir di
sini, di alam semesta ini, saat ini, tanpa tau diriku sebelum diciptakan ada di
mana, dan mengapa saat ini aku ada. Aku “ada” untuk apa, dan mengapa saat ini
hanya ada kekosongan. Yah, hanya ada kekosongan. Bukan kekosongan dari materi,
tapi dari sesuatu yang entah harus kusebut apa. Mungkin kekosongan akan tujuan.
Bertahun-tahun usia terhabiskan, ia berlalu tanpa jejak yang membekas jelas,
dan hingga saat ini aku tak tau bagaimana cara menggunakan dimensi waktu yang
kumiliki dengan baik.
Aku
tahu, mata dari fisikku terbuka, namun mata yang ada di dalam diri yang menjadi
penggerak dan pemberi stimulus bagi apa yang akan aku lakukan sedang tertutupi
tirai yang tebal dan tinggi. Tidak, atau mungkin “mata” ku sedang sakit. Sakit,
karena digerogoti sesuatu. Atau bahkan ia buta. Oh tidak, semoga itu tidak
terjadi.
Alam
mulai menganggu nalarku, bising dari mahluk-mahluk lain mulai mengusikku. Ku
arahkan mata seluas cakrapandang, hingga menjumpai kaki langit. Semilir angin
berhembus sejuk. Kembali muncul pertanyaan “siapakah aku?” apakah aku layaknya
debu yang hadirnya hanya sebagai sesuatu yang turut meramaikan semesta ini
kemudian berlalu begitu saja. Tidak, mungkin aku salah. Bahkan debu sekalipun
memiliki arti. Tanpanya, tak akan ada tetesan-tetesan bening yang jatuh dari
awan gelap. Butiran mungil dan halusnya sangat berarti, saat ia bergandengan
dengan uap uap air menuju ke langit dan pada akhirnya menjenuhkan awan yang
oleh angin diterbangkan dan dijatuhkan sebagai tetesan bening di tempat yang
telah ditentukan. Benar, aku telah keliru. Tanpa kehadiran butiran debu,
mungkin kita sedikit kesusahan mendefenisikan kata “bersih”, yah walaupun yang
mengotori tak hanya debu. Setiap yang ada pasti memiliki makna, makna untuk
dirinya dan untuk apa ia hadir. Dan tentu demikian juga dengan “aku”. Pasti di
balik kehadiran “aku” ada sesuatu yang syarat dengan makna. Hanya saja mungkin
nalar dan “mata” ku sedang tertutupi hingga aku tak bisa memahaminya. Aku
mungkin hanya tak bisa menggunakan nalar dan mengkorelasikannya dengan apa yang
ada di dalam diriku, apa yang disebut tingkatan-tingkatan dalam tubuh halus ku
saat ini.
Lalu
siapakah aku ? saat melangkah di jalan pengetahuan diri, “aku” mendapatkan
perspektif baru dari setiap kenyataan yang telah teridentifikasi pada
perjalanan hidupku. Manusia tersusun atas tubuh kasar dan tubuh halus dengan
beragam tingkatan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun aku mengetahui aku adalah
perempuan, atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan siapa diriku. Dan aku
bukan pula hanya tubuh dan pancaindra.
“aku” memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh
secara keseluruhan.
Aku
memiliki emosi dan keadaan psikologis yang turut mempengaruhiku, tetapi itu
juga tidak mampu menjelasan siapa “aku” sebenarnya. Bahkan sering aku berkata
“aku harus mengendalikan perangaiku” yang menunjukan dengan jelas, bahwa
terdapat lebih dari satu agen psikologis di dalam diriku. Ya, aku dan kalian
memang memiliki emosi,tetapi kita tidak lantas didefenisikan olehnya. Dengan
pemikiran yang sama, aku juga memiliki fakultas imajinatif yang mampu mencipta
berbagai gambaran dan orang biasa hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk
imajinal itu. Tetapi sekali lagi, aku tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk itu.
Aku
juga memiliki memori yang menjadi tempat penyimpanan gambar-gambar dan hal-hal
yang berkaitan dengan pengalaman dalam perjalanan hidupku. Sebagian besar orang
menganggap pengalaman-pengalaman yang teringat setiap hari sebagai bagian utama
dari identitas mereka. Tapi bukankah, aku dan kalian bisa lupa banyak hal dan
masih tetap sebagai manusia yang sama.
Banyak
yang mengatakan jika manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tubuh, emosi,
fakultas imajinatif atau memori, maka tentunya kita adalah apa yang kita
pikirkan. Tapi tidak, aku kurang setuju. Di dalam “aku” masih ada tingkatan
yang lebih tinggi yaitu hati. Ia adalah organ pemersatu yang terkait dengan
akal. Dan jika aku bertanya “siapakah aku?” maka kemudian aku bisa melihat ke
dalam hati.
Lalu
apa yang aku lakukan di alam semesta ini dan apa yang harus aku lakukan ? hmm,
apa yang aku lakukan ini adalah hidup dalam mimpi yang disebut kehidupan
sehari-hari, dalam keadaan melupakan apa yang disebut realitas ilahi. Dan kita
berada dalam keadaan seperti itu karena kita telah lupa siapa diri kita. Dan
aku saat ini ingin terbangun dan menyadari keadaan primordialku sebagai
manusia, yang terkadang terkubur jauh di balik banyak lapisan sampah kealpaan.
Aku teringat sabda Rasulullah “Manusia
itu tertidur dan ketika meninggal ia terbangun”. Tidak, aku tidak ingin menjadi
manusia seperti itu. Aku ingin bangun dan menerima kematian egoku sebagai
manusia, semampu apa yang bisa kulakukan. Aku ingin terbangun sekarang, di
bawah kondisi yang melibatkan akal dan kehendak bebas daripada terbangun dalam
situasi yang tidak berdaya.
Aku
ingin terbangun, melalui pintu yang terbuka ke ruang batin hati, karena
kesempatan tidak selalu ada, dan boleh jadi napasku yang selanjutnya menjadi
napas terakhir. Jika kita tidak melewati pintu itu sekarang maka pintu itu yang
akan menutup pada saat dimensi waktu untuk masing-masing kita telah habis, dan
mungkin saja pintu itu sudah tidak terbuka bagi kita esok.
Aku
menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, tidak ada jaminan bahwa hidup akan terus
berada dalam keadaan yang kita miliki sebagai manusia di dunia ini setelah
mencapai keadaan mewujud setelah mati. Aku kembali teringat hadis Rasulullah
“Matilah sebelum engkau mati”, yang ditujukan kepada mereka yang bertelinga
untuk mendengar dan yang bermata untuk “melihat”
Hidup
ini adalah pilihan dan kehendak. Saat kita memilih untuk hidup dengan memegang
janji “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah” dan
amanah terberat. Amanah yang sulit dipikul, bahkan gunung tak mau memikulnya.
Tetapi manusia dengan beraninya mengambil amanah itu, dan memang seperti itulah
kehendak pencipta. Hidup adalah pilihan tetapi terkadang hidup tidak
mempersilahkan kita untuk memilih. Tapi saat ini aku mengerti, bahwa kita hidup
untuk menjalankan amanah itu dan menepati janji yang telah diikrarkan, meskipun
itu sulit. Aku yakin, jika Dia menginginkan kita untuk suatu urusan, maka Dia
akan membuat kita siap menghadapi urusan itu.
Ku
tengadahkan kepala ke langit. Ku tatap warna birunya yang cerah, awan awan
mengepul indah, bergerak perlahan, membentuk gambar dan akhirnya hancur,
memisahkan diri. Alam ini sungguh indah, banyak hal yang mengajarkanku. Karena
tentu hadirnya memiliki makna. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Ad-Dukhaan ayat 38-39.
"Dan tidaklah kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"
Aku kembali merenungi,
semesta ini, pergantian siang dan malam, bumi dan apa yang ada di dalamnya,
serta planet-planet lain, berjalan dalam ritmenya.
Aku
teringat akan sebuah hadis Qudsi yang pernah ku baca dalam sebuah buku. “Aku
adalah Khazanah tersembunyi; Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan dunia agar
Aku dikenal”. Ya, aku mulai memahami, salah satu tujuanku diciptakan adalah
mengenal Allah, di antaranya melalui alam semesta ini. Semesta adalah bagian
kecil dari pengungkapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, semesta yang juga
disebut cermin “ketiadaan” yang memantulkan “citra” dari Realitas yang ada di
hadapannya, Realitas itu tidak terpengaruh oleh pantulannya atau cerminnya dan
tidak ada perubahan yang akan terjadi padanya jika cermin itu pecah.
Semesta, yang
biasa disebut ayat kauniyah adalah tanda tanda yang dapat mengajari orang-orang
yang berakal. Ya, hanya orang-orang yang berakal, yang menggunakan segenap
perangkat pemberian dari Pencipta untuk mentafakkuri apa yang ada di alam
semesta ini, membaca helai demi helai rahasia yang terdapat pada sebuah pohon
kehidupan raksasa, yang mungkin tak dapat terungkap sepenuhnya, tapi setidaknya
aku dan kalian pernah mencoba itu sebagai tanda bahwa kita adalah mahluk-Nya
yang berakal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar