Gema Penggetar Jiwa

Malam kini menjelang. Hadirnya
mengorbankan senja yang harus turun tahta, untuk mempersilahkan sang malam
mengambil kedudukan. Bulan mulai nampak, seiring dengan simfoni alam yang mulai
senyap. Burung-burung berbondong-bondong menuju tempatnya, meninggalkan
bayangan tak berjejak. Angin yang sebelumnya terasa hangat, kini perlahan
dingin, menelisik sejengkal demi sejengkal permukaan kulit. Merasuk semakin
dalam ke setiap pori. Langit perlahan kelam, diiringi dengan bintang yang satu
per satu hadir menghiasinya.
Seorang pemuda sedang duduk memeluk
lutut di atas hamparan tanah menghitam. Di lengan bawahnya terlihat jelas bekas
sayatan-sayatan silet dan lubang-lubang kecil membiru seperti bekas tusukan
jarum suntik. Pada lengan bagian atas, ada tato dengan gambar yang tak jelas. Tatapannya
sayu dengan lidah keluh. Wajahnya gelap, seakan tertutup dengan gumpalan
keresahan. Ia tak percaya akan apa yang telah terjadi. kejadian hari ini
menyisakan luka parah di batinnya. Pikirannya terjebak di lorong gelisah yang tak berujung. Kegundahan merayap
dengan cepat memasuki ruang-ruang hati yang semakin dalam. Matanya terpaku
menatapi puing-puing kayu yang hangus terbakar. Benaknya dirundung pilu. Ia tak
habis pikir, dengan waktu singkat kejadian itu mampu mengubah banyak hal.
Tempat yang dulu tertata kini menjadi ambur adul. Pepohonan hijau yang tumbuh
menghiasi parkiran pasar kini daunnya
menghitam, ciut karena terjilat api. Pohon yang sebelumnya menawarkan keteduhan,
kini hanya memberi bayang perih.
Ingatannya bergerak mundur menelusuri
kejadian demi kejadian yang telah lalu. rasa bersalah terus menari-nari di
benaknya. Segala yang hadir di depannya pun seakan menyindir dan memberikan teguran
keras untuk apa yang telah ia lakukan. Menyia-nyiakan orang-orang yang sangat
berarti dalam hidupnya.
***Hidupnya hancur, semenjak ia mulai
memasuki bangku SMA. Saat di mana ia mulai menemukan kebebasan bersama
teman-teman sekolahnya. Masih teringat jelas ketika ia dan teman-temannya duduk
di lapangan belakang sekolah, seseorang yang tak
dikenal memberinya bungkusan bening yang berisi bubuk putih. Katanya, dengan
mencoba sedikit saja, perasaan bahagia akan membara di dalam diri dan mampu
membuat pikiran melayang-layang. Dengan rasa penasaran, ia dan teman-temannya
mulai mencicipi bubuk putih itu. Rasanya hambar, namun mungkin hanya dalam
hitungan menit terasa bahagia membuncah di dalam hati dan pikirannya. Bereuforia,
mengembara seolah sedang bermimpi di tempat yang indah dan penuh kedamaian.
Bubuk putih itu masih tersisa cukup
banyak. Sesampainya di rumah, dikomsumsinya lagi bubuk putih itu. Dan kejadian
sebelumnya terulang kembali. Terasa hatinya melayang ke tempat yang sangat
menyenangkan dan sangat indah.
Beberapa hari setelah kejadian
mencicipi bubuk putih itu, demam, pusing
dan mual beradu dalam dirinya. “Mungkin ini hanya sakit biasa” batinnya. Dengan
tubuh yang menunjukan gejala sakit, Ia tetap ke sekolah. Bertepatan dengan hari
itu, beberapa teman sekolah yang berkecimpung di sebuah organisasi anti narkoba
datang untuk bersosialisasi di kelasnya. Mereka menjelaskan banyak hal tentang
narkoba, mulai dari bahaya penggunaan narkoba, jenis, bentuk dan akibat apa
yang ditimbulkan dari penggunaan narkoba tersebut. Salah satu jenis narkoba
yakni heroin, dimana bentuknya seperti bubuk dan berwarna putih. Akibat dari penggunaan semua
jenis narkoba akan menimbulkan adiksi yakni ketergantungan yang ditandai dengan
mual, pusing dan panas di sekujur tubuh.
Seketika petir terasa menyambar
pikirannya. Mungkinkah bubuk putih yang ia komsumsi beberapa hari yang lalu itu
adalah narkoba. Rasa takut lalu menyelimuti batinnya. Menyeruak di antara
pori-pori kulit yang menghasilkan keringat dingin.
Dengan perasaan takut, ia menunggu
orang yang memberi bubuk putih itu di lapangan belakang sekolah berharap ia
berlalu di tempat itu seperti kejadian beberapa hari sebelunya. Setelah cukup
lama menunggu, akhirnya orang itu pun datang. Tapi bukannya memberikan solusi,
ia malah kembali menawarkan bubuk putih. Tapi berbeda dari yang sebelumnya, bubuk
putih itu diberinya tarif seharga 50 ribu, jumlahnya bahkan lebih sedikit dari
yang diberikan sebelumnya. Dengan bujuk ray dan tipu muslihat, ia lalu menerima
tawaran itu tanpa memikirkan tujuan utama Ia ingin menemui orang tersebut.
Kejadian adiksi itu terus berulang, bahkan
dengan level yang semakin tinggi, dan setiap kejadian itu terulang, ia terus
mengomsumsi bubuk putih itu. Perlahan ia merambah menggunakan jenis-jenis
narkoba yang lain dan dengan cara mengomsumsi yang bervariasi pula, salah
satunya melalui suntikan.
Sampai pada suatu waktu, dimana ia
memaksa orang tuanya untuk memberinya uang. Ya, untuk memenuhi hasrat akibat
adiksi yang dideritanya. Berbagai cara kasar dilakukan, yang membuat dua insan
renta yang akrab dipanggilnya ayah dan ibu itu meneteskan air mata. Perangainya
membuat hati kedua orang tuanya teriris, menyisakan luka yang tiap hari semakin
parah. Untuk memenuhi keinginannya, ia
mulai mencuri. Ia terbiasa mengambil uang di toko orangtuanya secara diam-diam.
Bahkan ia berani mencuri uang dari toko lain yang berdekatan dengan toko milik
ayahnya. Kenakalannya semakin menjadi-jadi, semakin tak pernah perduli akan
larangan dan nasehat dari orang tuanya,
ditambah oleh hasutan dari teman-teman yang terjerumus di kubangan yang
sama. Beragam jalan gelap ia tapaki. Penampilannya semakin hari semakin buruk.
Satu persatu tato mulai diukir pada tubuhnya, memberi warna pada kulitnya yang
putih.
***
Kemarin, semua masih berjalan seperti
biasanya. Orangtuanya masih hadir menegur setiap apa yang ia lakukan. Sampai
pada kejadian 17 jam yang lalu, semua yang terjadi meluluh lantahkan
perasaannya, merenggut orang-orang yang selama ini telah disia-siakannya. Tak
banyak yang bisa ia lakukan, hanya menangis meratapi setiap hembusan nafas yang
ia habiskan dengan kerugian, sembari merontah di atas puing-puing penyesalan.
Diiringi
dengan awan yang berarak tanpa jeda yang perlahan memudar, hancur dan kembali
berbentuk, Ia masih di tempat yang sama, memutar ulang rekaman yang ada di
memori otak. Perlahan namun pasti, gelisah merasuk semakin dalam di benaknya
kala film masa lalunya terputar.
Alam masih
menari dalam simfoninya. Gelap semakin merajai bumi. Pohon-pohon dengan daun
yang telah menghitam seakan menatap ke langit menanti butir-butir yang mampu
melepaskan dari kepenatan udara yang berbau asap. Perlahan terdengar gemah
takbir yang menggetarkan jiwa. Menumpas gelisah yang bersemayam. Memberikan
tenaga kepada hatinya untuk tetap tegar, bertarung dengan kenyataan yang ada,
memberikan celah di antara lorong gelisah. Hadir sebagai secerca sinar di
tengah kalutnya pemikiran untuk menjalani hidup. Untaian kalimat-kalimat indah
berikutnya, kemudian merenggangkan udara, menyentuh gendang telinga dengan
lembut, menggetarkan tulang-tulang pendengaran, mengantarkan impuls semangat ke dalam otak.
Kalimat-kalimat itu hadir membasuh hati yang telah lama kering kerontang, yang
selama ini tak pernah memperoleh tempat di hidupnya.
Hatinya
perlahan diselimuti oleh ketenangan dan mulai terbesit keinginan untuknya
membenahi semua ini. Suara adzan itu mengisyaratkan panggilan jiwa yang
mendalam untuknya. Dengan gerak yang lamban, tangan dan kakinya mulai berpindah
posisi. Tubuhnya yang kerontang kini nampak berdiri. Langkahnya siap diayunkan
untuk berharap ampunan pada sang Pencipta hidup dan mati. Tak banyak yang bisa
ia lakukan selain mengharapkan ampunan dari-Nya, berharap hidupnya lebih baik
dari yang telah lalu. Perlahan semangat hadir dalam langkah kaki diayunkan menuju
gerbang ampunan yang memperbaiki hidupnya. Setidaknya ia telah memutuskan melangkah
dan berlari dari kobaran api yang menyiksa daripada memasrahkan diri terbakar
api itu untuk menapaki jalan baru dimana mungkin di sana akan banyak onak dan
duri yang menanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar