Selasa, 20 Oktober 2015



Gema Penggetar Jiwa





Malam kini menjelang. Hadirnya mengorbankan senja yang harus turun tahta, untuk mempersilahkan sang malam mengambil kedudukan. Bulan mulai nampak, seiring dengan simfoni alam yang mulai senyap. Burung-burung berbondong-bondong menuju tempatnya, meninggalkan bayangan tak berjejak. Angin yang sebelumnya terasa hangat, kini perlahan dingin, menelisik sejengkal demi sejengkal permukaan kulit. Merasuk semakin dalam ke setiap pori. Langit perlahan kelam, diiringi dengan bintang yang satu per satu hadir menghiasinya.
Seorang pemuda sedang duduk memeluk lutut di atas hamparan tanah menghitam. Di lengan bawahnya terlihat jelas bekas sayatan-sayatan silet dan lubang-lubang kecil membiru seperti bekas tusukan jarum suntik. Pada lengan bagian atas, ada tato dengan gambar yang tak jelas. Tatapannya sayu dengan lidah keluh. Wajahnya gelap, seakan tertutup dengan gumpalan keresahan. Ia tak percaya akan apa yang telah terjadi. kejadian hari ini menyisakan luka parah di batinnya. Pikirannya terjebak di lorong  gelisah yang tak berujung. Kegundahan merayap dengan cepat memasuki ruang-ruang hati yang semakin dalam. Matanya terpaku menatapi puing-puing kayu yang hangus terbakar. Benaknya dirundung pilu. Ia tak habis pikir, dengan waktu singkat kejadian itu mampu mengubah banyak hal. Tempat yang dulu tertata kini menjadi ambur adul. Pepohonan hijau yang tumbuh menghiasi  parkiran pasar kini daunnya menghitam, ciut karena terjilat api. Pohon yang sebelumnya menawarkan keteduhan, kini hanya memberi bayang perih.

Ingatannya bergerak mundur menelusuri kejadian demi kejadian yang telah lalu. rasa bersalah terus menari-nari di benaknya. Segala yang hadir di depannya pun seakan menyindir dan memberikan teguran keras untuk apa yang telah ia lakukan. Menyia-nyiakan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
***Hidupnya hancur, semenjak ia mulai memasuki bangku SMA. Saat di mana ia mulai menemukan kebebasan bersama teman-teman sekolahnya. Masih teringat jelas ketika ia dan teman-temannya duduk di lapangan belakang sekolah, seseorang  yang  tak dikenal memberinya bungkusan bening yang berisi bubuk putih. Katanya, dengan mencoba sedikit saja, perasaan bahagia akan membara di dalam diri dan mampu membuat pikiran melayang-layang. Dengan rasa penasaran, ia dan teman-temannya mulai mencicipi bubuk putih itu. Rasanya hambar, namun mungkin hanya dalam hitungan menit terasa bahagia membuncah di dalam hati dan pikirannya. Bereuforia, mengembara seolah sedang bermimpi di tempat yang indah dan penuh kedamaian.

Bubuk putih itu masih tersisa cukup banyak. Sesampainya di rumah, dikomsumsinya lagi bubuk putih itu. Dan kejadian sebelumnya terulang kembali. Terasa hatinya melayang ke tempat yang sangat menyenangkan dan sangat indah.
Beberapa hari setelah kejadian mencicipi bubuk putih itu,  demam, pusing dan mual beradu dalam dirinya. “Mungkin ini hanya sakit biasa” batinnya. Dengan tubuh yang menunjukan gejala sakit, Ia tetap ke sekolah. Bertepatan dengan hari itu, beberapa teman sekolah yang berkecimpung di sebuah organisasi anti narkoba datang untuk bersosialisasi di kelasnya. Mereka menjelaskan banyak hal tentang narkoba, mulai dari bahaya penggunaan narkoba, jenis, bentuk dan akibat apa yang ditimbulkan dari penggunaan narkoba tersebut. Salah satu jenis narkoba yakni heroin, dimana bentuknya seperti bubuk dan berwarna putih. Akibat dari penggunaan semua jenis narkoba akan menimbulkan adiksi yakni ketergantungan yang ditandai dengan mual, pusing dan panas di sekujur tubuh.
Seketika petir terasa menyambar pikirannya. Mungkinkah bubuk putih yang ia komsumsi beberapa hari yang lalu itu adalah narkoba. Rasa takut lalu menyelimuti batinnya. Menyeruak di antara pori-pori kulit yang menghasilkan keringat dingin.
Dengan perasaan takut, ia menunggu orang yang memberi bubuk putih itu di lapangan belakang sekolah berharap ia berlalu di tempat itu seperti kejadian beberapa hari sebelunya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya orang itu pun datang. Tapi bukannya memberikan solusi, ia malah kembali menawarkan bubuk putih. Tapi berbeda dari yang sebelumnya, bubuk putih itu diberinya tarif seharga 50 ribu, jumlahnya bahkan lebih sedikit dari yang diberikan sebelumnya. Dengan bujuk ray dan tipu muslihat, ia lalu menerima tawaran itu tanpa memikirkan tujuan utama Ia ingin menemui orang tersebut.
Kejadian adiksi itu terus berulang, bahkan dengan level yang semakin tinggi, dan setiap kejadian itu terulang, ia terus mengomsumsi bubuk putih itu. Perlahan ia merambah menggunakan jenis-jenis narkoba yang lain dan dengan cara mengomsumsi yang bervariasi pula, salah satunya melalui suntikan.

Sampai pada suatu waktu, dimana ia memaksa orang tuanya untuk memberinya uang. Ya, untuk memenuhi hasrat akibat adiksi yang dideritanya. Berbagai cara kasar dilakukan, yang membuat dua insan renta yang akrab dipanggilnya ayah dan ibu itu meneteskan air mata. Perangainya membuat hati kedua orang tuanya teriris, menyisakan luka yang tiap hari semakin parah.  Untuk memenuhi keinginannya, ia mulai mencuri. Ia terbiasa mengambil uang di toko orangtuanya secara diam-diam. Bahkan ia berani mencuri uang dari toko lain yang berdekatan dengan toko milik ayahnya. Kenakalannya semakin menjadi-jadi, semakin tak pernah perduli akan larangan dan nasehat dari orang tuanya,  ditambah oleh hasutan dari teman-teman yang terjerumus di kubangan yang sama. Beragam jalan gelap ia tapaki. Penampilannya semakin hari semakin buruk. Satu persatu tato mulai diukir pada tubuhnya, memberi warna pada kulitnya yang putih.

***
            Kemarin, semua masih berjalan seperti biasanya. Orangtuanya masih hadir menegur setiap apa yang ia lakukan. Sampai pada kejadian 17 jam yang lalu, semua yang terjadi meluluh lantahkan perasaannya, merenggut orang-orang yang selama ini telah disia-siakannya. Tak banyak yang bisa ia lakukan, hanya menangis meratapi setiap hembusan nafas yang ia habiskan dengan kerugian, sembari merontah di atas puing-puing penyesalan.
            Diiringi dengan awan yang berarak tanpa jeda yang perlahan memudar, hancur dan kembali berbentuk, Ia masih di tempat yang sama, memutar ulang rekaman yang ada di memori otak. Perlahan namun pasti, gelisah merasuk semakin dalam di benaknya kala film masa lalunya terputar.
            Alam masih menari dalam simfoninya. Gelap semakin merajai bumi. Pohon-pohon dengan daun yang telah menghitam seakan menatap ke langit menanti butir-butir yang mampu melepaskan dari kepenatan udara yang berbau asap. Perlahan terdengar gemah takbir yang menggetarkan jiwa. Menumpas gelisah yang bersemayam. Memberikan tenaga kepada hatinya untuk tetap tegar, bertarung dengan kenyataan yang ada, memberikan celah di antara lorong gelisah. Hadir sebagai secerca sinar di tengah kalutnya pemikiran untuk menjalani hidup. Untaian kalimat-kalimat indah berikutnya, kemudian merenggangkan udara, menyentuh gendang telinga dengan lembut, menggetarkan tulang-tulang pendengaran, mengantarkan  impuls semangat ke dalam otak. Kalimat-kalimat itu hadir membasuh hati yang telah lama kering kerontang, yang selama ini tak pernah memperoleh tempat di hidupnya.

            Hatinya perlahan diselimuti oleh ketenangan dan mulai terbesit keinginan untuknya membenahi semua ini. Suara adzan itu mengisyaratkan panggilan jiwa yang mendalam untuknya. Dengan gerak yang lamban, tangan dan kakinya mulai berpindah posisi. Tubuhnya yang kerontang kini nampak berdiri. Langkahnya siap diayunkan untuk berharap ampunan pada sang Pencipta hidup dan mati. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain mengharapkan ampunan dari-Nya, berharap hidupnya lebih baik dari yang telah lalu. Perlahan semangat hadir dalam langkah kaki diayunkan menuju gerbang ampunan yang memperbaiki hidupnya. Setidaknya ia telah memutuskan melangkah dan berlari dari kobaran api yang menyiksa daripada memasrahkan diri terbakar api itu untuk menapaki jalan baru dimana mungkin di sana akan banyak onak dan duri yang menanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar