Rabu, 20 Juli 2016

HUJAN DI BULAN FEBRUARI



Akankah hujan yang tak berhenti mampu membersihkan langit ? adakah dinginnya udara mampu membekukan kegelisahan ?pertanyaan aneh lagi-lagi muncul dalam benakku. Duduk sendiri membuat anganku mengasing ke tempat entah beranta. Bersama sepi, aku hanya bisa menikmati apa yang disajikan oleh alam. menikmati hujan, hembusan angin dan dekapan lembut dari suara dedaunan. Berharap hujan dan dinginnya udara mampu membandung semua rasa tak mengenakkan yang satu per satu perlahan hadir menyumpal kesadaranku di alam nyata, menyeretku ke alam khayal yang tak berujung.
yah, kali ini hujan kembali menyapaku. di jam yang sama.

Hujan ini mengingatkanku akan hari itu. yah, saat hujan di bulan Februari. sejak saat itu, begitu banyak kata yang tak tersampaikan. Sangat banyak, hingga seakan semuanya ingin tumpah dan mengguyurku dalam kebisuan. dinginnya udara saat itu mengikat simpul yang kuat bersama nada-nada yang tercipta dalam hati. begitu banyak hal, yang entah harus ku lukiskan lewat gambar apa, entah harus kulantunkan dengan kata yang seperti apa. aku tak tahu. aku hanya bisa diam.

bait-bait puisi mulai terukir rapi dalam memo hatiku bersama gurat bahagia yang ku rasa, di bawah naungan awan, hujan di bulan februari. saat yang mungkin tak akan pernah terlupakan

mengenang hujan di bulan februari, kuraih secarik kertas dari meja tulis kecil yang ada di sampingku bersama pulpen. mulai kusalurkan kenangan di bulan februari itu lewa bait-bait puisi.

LAGU BATIN
Inilah lagu batinku, suara-suara angin di antara musim
hujan dan udara yang lembab..

biarlah,
akhirnya hanyut bersama suara hujan
dari negeri mimpi, biarlah semua mengambang
dalam ruang kecil penuh siul dari sang sepi
alunan-alunan hati memetikkan dawai giar
menghiburmu sang sepi !
memadukan rasa bersama nada

semuanya tertulis sangat lancar, mengalir bersama rinai hujan. ku arahkan tatapan melalui kaca jendela. kutatap hujan yang semakin menjadi. sepertinya puisi tak cukup menghiburku. lalu kuraih gitar dan memainkannya hingga akhirnya tercipta sebuah lagu.

AWAN MASIH MENUNGGU
Kau adalah sepotong kisah
yang mengisi lembaran dalam hidupku
hadirmu membawa senuhan hangat
di balik larik senyuman indahmu

dan kau tak pernah tau
awan di sini masih menunggu
dan kau tak pernah tau
awan hanya menanti senyumanmu

kau adalah mentari yang bersinar di siang hari
dan kau adalah cahaya rembulan
di malam-malamku
you're always deep in my heart

Kamis, 12 Mei 2016

CERPEN "Bintang di Siang Hari"

Bintang di siang hari

Mentari nampak masih malu mengepakkan jubahnya, yang ditandai dengan rona jingga dari ufuk timur. Perlahan gugusan awan berjejer rapi menutupi langit yang masih kelam. Bulan mengedipkan matanya, mungkin sebagai isyarat bahwa ia akan kembali ke peraduannya karena cahaya mentari akan mengalahkan sinarnya. Luna menghirup udara dalam-dalam. Terasa jelas uap air dari udara yang lembab masuk ke dalam tenggorokannya. Udara itu memulai perjalanan barunya, berganti dari lingkungan atmosfer, membawa oksigen masuk ke dalam aliran darahnya.

Setiap orang pasti menyukai suasana pagi seperti ini, tak terkecuali seorang Luna yang sejak tadi berada di jalan ini. Di kanan kiri jalan gugusan rumah dengan stelan modis bejejer dengan rapinya. Earphone berwarna merah jambu nampak melekat di kepalanya yang berlapiskan jilbab kaos hijau tosca. Setelannya sederhana, dengan sweater abu-abu dan celana olahraga hitam bercorak garis-garis putih. Ia hanyut dalam lagu yang ada di playlist. Langkahnya pelan saja. Tangannya sejak tadi di letakkan di dalam kantong sweater yang ia kenakan.

Sesakali gadis itu mengangguk-nganggukan kepala seperti hanyut dengan setiap alunan lagu, menelisik alam bawah sadarnya, hingga tak memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Sesekali pandangan orang lain tertuju padanya, mungkin mereka sedikit risih dengan sikap Luna itu. Namun, sang gadis tak menyadari itu dan terus saja melangkahkan kaki dengan sesekali berlari-lari pendek.

Cukup lama ia seperti itu. Yang benar saja, semua orang yang menjumpainya adalah tetangga yang tentunya ia kenal, tapi tak satu pun sapaan mengudara dari bibir mungilnya itu. Hingga membuat orang lain juga merasa enggan menegur. Dari arah belakang seseorang nampak berlari kencang mengejar Luna. Semakin dekat langkah itu semakin cepat dan pada akhirnya tangan berkulit sawo matang menyentuh bahu Luna. Namanya Naima. Ia adalah sahabat Luna. Tubuhnya yang sepuluh senti lebih tinggi kini berdiri sejajar dengan Luna. Nafasnya terengah-engah, seakan ia ingin menghirup semua udara yang ada. Tatapannya sayu, nampaknya ia ingin mengucapkan banyak hal namun tersandung oleh nafasnya yang masih tak karuan.

"Tarik nafas dalam-dalam dulu naima, baru kamu bicara" ucap Luna menenangkan sahabatnya itu sambil mengukir senyum tipis yang sungguh manis.

Kata-katanya itu direspon dengan anggukan dari naima. Beberapa detik berlalu, nafas naima mulai normal.

"sejak tadi aku manggil kamu tapi gak ada respon, sampe doer bibirku ini berteriak"

Luna tertawa mendengar celotehan sahabatnya itu.

"Sory-sory, kamu kan liat sendiri aku pake earphone"
"Hari ini kan kita mau ke pegunungan, kamu gak mau siap-siap ? Kita harus ada di kampus loh jam delapan tepat, kalau tidak kordinator asisten kembali mengurai celotehan panjangnya Entah bilang kita itu harus disiplinlah, gak boleh pake jam karet, dan kata yang paling aku gak suka kalau kordinator nyumpain dengan kata andalannya, yang tidak disiplin nanti MANDUL !!!"

Naima  berceloteh panjang lebar layaknya lintah penggunjing yang mengurai semua kejelekan koordinator asisten tanpa rem. Kata- katanya jika dapat diurai mungkin separuh jalan sudah penuh dengan  kata-kata. Luna hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan naima, mungkin juga dalam hatinya terselip rasa jengkel dengan sikap naima yang merusak suasana pagi yang harusnya penuh dengan semangat. Namun naima dengan segala uneg-unegnya seaian ingin menutup semangat pagi ini.
"Iya. Ntar jam 7 aku siap-siap. Aku masih mau nikmatin udara pagi yang sejuk ini" sambil tersenyum.

Senyum manisnya itu selalu mampu membuat siapapun yang melihatnya menjadi tenang. Betapa tidak, bibirnya yang merah merekah sangat menyejukkan mata. Bak setetes air yang jatuh di tanah berpasir, ia akan seketika terserap ke dalam hati orang-orang yang melihatnya.
Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berlari dengan cepat dan nafas tergopoh-gopoh, langkahnya makin lama makin lambat saja. Dengan cepat, ia menyusuri koridor kampus yang saat itu nampak sepi, satu persatu pintu di lorong ruangan ia buka. Luna terus berlari hingga pada akhirnya mencapai persimpangan lorong dan berbelok ke arah kanan. Langkahnya mulai pelan,  tatapannya tertuju pada lapangan yang berada di tengah-tengah gedung kampus. Di sana, nampak teman-teman seangkatan Luna yang sedang berbaris. Mereka nampak antusias mendengarkan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh kordinator praktikum. Ya, kali ini Luna dan teman-temannya akan ke pegunungan untuk melakukan praktek lapangan dan mencari tanaman yang akan dijadikan bahan praktikum botani nanti. Dengan gugup, Luna mengayunkan langkah ke arah salah satu barisan yang berada di bagian tepi kiri. Keberuntungan kali ini berpihak pada Luna, karna pak kordinator tidak menyadari kedatangannya, sehingga dengan mudahnya ia bisa bergabung dengan yang lain tanpa terlebih dahulu telinganya di panasi oleh kata-kata dari pak kordinator.

"Lun, kamu dari mana aja sih. Kok terlambat" sapa Naima.

"Humm.. Jelas-jelas aku dari luar Naima." jawab Luna dengan nafas yang masih tidak beraturan.

"Maksud aku, kamu abis ngapain kok bisa terlambat"

"Yah, itu sih beda lagi redaksi pertanyaannya Naima, tadi tu ban motor adikku bocor, trus aku bantu nyari tukang tambal ban, tapi sialnya, ini pagi-pagi buta, jadi ngaak ada bengkel yang buka. Terpaksa deh aku naik angkot. Kamu kan tau sendiri kalau naik angkot, jaraknya itu cukup jauh karena harus ikut jalur angkot, di tambah lagi macetnya minta ampun" Luna menjelaskan panjang lebar, sementara Naima hanya ngangguk-ngangguk tak jelas antara mengerti atau cuman pura-pura mendengar. Kan cuman ada dua pilihan tuh kalau orang di ajak bicara trus bisanya cuman ngangguk-ngangguk.

"Baguslah" respon Naima
"Hah.. Kok bagus sih"
"Yah bagus donk karna kamu masih sempat dapat angkot" jawab Naima dengan senyum nyengir ala anak manis.
"Ia juga sih" angguk Luna tanda mengerti

Hening, tidak ada lagi percakapan antara Luna dan Naima. Masing-masing sibuk mendengarkan nasehat dari kordinator asisten. Luna sesekali melayangkan pandang ke arah barisan yang berada di sebelah kanan. Matanya mencari-cari sosok jangkung yang beberapa pekan terakhir ini sering bersemedi di pikirannya, meskipun sudah ia usir semampunya. matanya tak menjumpai sosok itu, membuat rasa kecewa bertengger di hatinya. Kembali Luna mendengar nasehat kordinator asisten.

Tiba saatnya pembagian kelompok Setiap kelompok akan menaiki bus yang sama menuju puncak. Rasa harap menjelma di dalam hati Luna, ia ingin jika bisa sekolompok dengan orang yang tadi ia cari-cari. Dan bagai kejatuhan bunga tomat dari atas kepalanya, harapannya menjadi kenyataan. "Memang benar hukum kesetimbangan itu, memikirkan sesuatu akan mendatangkan apa yag diinginkan itu" gumamnya dalam hati di ikuti senyuman manis yang tersungging di bibirnya.

"Heeii.. Kok senyum-senyum lun" senggol Naima yang berdiri di sebelah kanannya.

"Haa.. Iya kenapa Naima ?"

"Gak ada angin, gak ada hujan kok senyum-senyum sendiri?" ledek Naima

"Kalau ada angin dan hujan, aku sih gak bakalan senyum, tapi melarikan diri ke tempat yang aman, gimana sih" sambung Luna

"Hmm.. Memang yah kalau orang pinter bawaannya serius mulu, maksud aku kan gak ada sesuatu yang lucu dan lain sebagainya, kok senyum-senyum? "

"Naimaku yang cantik, setiap orang kan punya imajinasi yang bisa menghadirkan sejuta rasa, bisa bikin orang senang ataupun sedih, gak mesti ada sesuatu dari luar"  respon Luna dengan nada sesikit menekankan, ya walaupun sebenarnya ia berusaha menutupi apa yang membuatnya tersenyum sendiri.

"Iya deh bu guru Luna"  Naima menyerah

Luna nampak puas, ia tidak mesti menjawab pertanyaan dari Naima.
Perjalanan dimulai, satu persatu mahasiswa menuju bus dengan membopong ransel besar, bekal pakaian dan perlengkapan lain selama 2 hari di puncak.

Luna melangkahkan kaki dengan hentakan semangat. Seperti biasa, ia sangat senang jika mengunjungi tempat baru apalagi ini ke daerah pegunungan dan bersama teman-teman sekampusnya, terlebih lagi kata temannya yang abis ceklok alias cek lokasi, di sana tempatnya sangat indah, dijuluki desa seribu bunga karena disana ada banyak bunga, mulai dari bunga yang biasa dijumpai di kota sampai bunga yang cukup langkah seperti bunga masamba dan Edelwiss.

 "hmm.. Pasti sangat menyenangkan" batin Luna.
"Luna, ayo duduk di sampingku, di sini masih kosong" teriak Dias yang duduk tepat di belakang supir. Dias adalah teman sekelas Luna.

Luna yang masih bingung untuk memilih ingin duduk di mana seketika mengikuti ajakan Dias. Dengan sigap Luna meletakkan tasnya di tempat penyimpanan tas dan segera menghempaskan tubuhnya di atas kursi bus dengan balutan kain berwarna biru. Ia mengambil posisi di dekat jendela agar bisa melihat pemandangan selama perjalanan. Ada kelebihan ia duduk di belakang pak supir, karna tepat di depannya ada cermin yang membuatnya mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di belakangnya. Tepat di bangku ke 3 dari belakang, di sana duduk sosok yang sempat ia cari di halaman kampus. Lagi-lagi senang membuncah di dalam dada Luna, walaupun hanya dengan menatap wajahnya.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, bus berhenti untuk isoma alias istirahat, sholat dan makan. Bus berhenti tepat di depan sebuah mesjid, karena bertepatan dengan waktu sholat dhuhur, Luna mendahulukan untuk sholat sebelum makan. Setelah berwudhu, Luna segera berjalan menuju tempat sholat, namun ada satu hal yang mengejutkan Luna. Sosok itu ternyata kini berada di depannya, menatapnya dengan teduh, Luna berpura-pura melap butiran air yang bergelantungan di wajahnya. Melihat tatapan itu, Luna jadi seperti kerupuk yang disiram air panas. Luna hanya berjalan cepat menjauhinya, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Jangankan mengucapkan sepatah kata, untuk bertatapan lebih lama saja Luna tak pernah berani. Luna hanya bisa menatapnya dari kejauhan, memandangi kesederhanaannya dalam bersikap, memandang keteduhan senyumnya.

Di puncak, setiap rombongan bus di beri tempat khusus masing untuk beristirahat sejenak kemudian segera melakukan agenda pertama yaitu menuju ke beberapa tempat untuk berburu berbagai jenis tanaman tertentu. Udara terasa sangat sejuk meski saat itu pukul 2 siang, jika di kota tak akan seperti ini. Di kota, jam 2 siang biasanya hanya dihabiskan dengan beraktifitas di dalam ruangan, betapa tidak, mentari sangat agresif menyapa bumi dengan radiasi panasnya yang sangat menyengat saat musim kemarau. Berbeda dengan kota, tempat ini sangat dingin, jarak pandang hanya sekitar 15 meter, udara terasa sangat dingin merasuk ke dalam pori-pori jaket ungu yang dikenakan Luna. Di temani teman-teman sekelompoknya, Luna berjalan membelah kabut di antara perkebunan wortel yang di selingi oleh rumah-runah warga yang hanya bisa si hitung jari. Di pekarangan rumah warga banyak sekali karangan bunga dengan warna yang bermacam-macam, ada bunga mawar, krisan, melati, bunga-bunga lain yang membuat Luna kagum, kagum dengan keindahannya dan tentunya semakin menambah rasa kagumnya pada pencipta semua ini.

Lelah mulai terasa, Luna menghentikan langkahnya, tiba-tiba sosok itu hadir, ia sepertinya melangkah ke arah Luna.

"Aduh, bagaimana nih." batin Luna, kakinya kini seakan menjelma jadi agar-agar, sepertinya tidak mampu menopang tubuhnya. "Lun, bawa sanatai aja" nasehatnya pada diri sendiri.

Ia kemudian memberanikan diri berjalan berdampingan dengannya, mesti hanya saling menganggap sebagai angin. Yah, angin yang ada namun tak terlihat. Tak pernah ada yang peduli tuk berusaha melihat angin, karena memang ia tak terlihat namun jelas adanya.

Semua ini bermula dari tatapan bintang. Bintang itu bersinar meskipun siang hari, menyapa ketidaksadaran Luna bahwa selama ini bintang itu sering mengawasinya dari jarak yang jauh. Bintang itu hadir di matanya, memberikan harapan yang mungkin tak terbalaskan. Bintang itu bersinar di matanya, sosok yang mengisi pikiran Luna saat ini.



   

CERPEN "Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan"

Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan

“Aku berpikir maka aku ada”. Kata-kata dari Descartes ini sangat populer, dan kata kata inilah yang saat ini mengaung di pikiranku, saat aku termenung. Pikiranku berjalan menyusuri jalannya sendiri, melupakan eksistensi fisikku yang berada di alam hampa. Aku bernapas, dan bergerak atau mungkin lebih tepat disebut tergerakkan. Tergerakkan oleh sesuatu yang ada di dalam diriku. Entah sesuatu apa itu, ia tak berwujud namun mampu memberikan dorongan bagiku untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kekuatan itu sangat kuat, hingga mampu mengalahkan nalarku. Nalarku terkalahkan olehnya. Nalarku inginkan ketenangan, namun aku tak bisa menggapai ketenangan itu karena ditentang olehnya.

Ku hembuskan nafas sekuat-kuatnya. Terasa udara hangat menyembul keluar dari rongga hidungku. Aku begitu hampa. Fakultas imagi dan nalar mengambil alih diriku, membawaku menyusuri lorong gelap dengan tepi bertembok kokoh dan raut mencekam. Di sini begitu sepi, aku takut. Sedang apa aku di alam hampa ini ? apa yang aku lakukan di sini? Dan untuk apa aku ada? Pertanyaan-pertanyaan itu satu persatu hadir membuat nalarku sesak dan tersumpal dengan banyak hal dan jawaban tak pasti. Ini semakin sulit saat pertanyaan-pertanyaan lain datang menyertai.

Aku tau, saat ini aku hidup, mengikuti irama semesta yang menari dalam dimensi waktu. dimensi yang terus saja berjalan, tanpa bisa dimundurkan bahkan walaupun itu untuk sesaat yang lalu, dimensi itu pun sama sekali tak bisa dihentikan. Ia terus saja berjalan tak perduli dengan riak-riak manusia yang mengisi dimensi itu. Aku tak pernah tau, dari mana dimensi waktu dan ruang semesta ini berasal, di mana ujungnya dan ke mana tujuan pergerakannya. Yang aku tau, aku hadir di sini, di alam semesta ini, saat ini, tanpa tau diriku sebelum diciptakan ada di mana, dan mengapa saat ini aku ada. Aku “ada” untuk apa, dan mengapa saat ini hanya ada kekosongan. Yah, hanya ada kekosongan. Bukan kekosongan dari materi, tapi dari sesuatu yang entah harus kusebut apa. Mungkin kekosongan akan tujuan. Bertahun-tahun usia terhabiskan, ia berlalu tanpa jejak yang membekas jelas, dan hingga saat ini aku tak tau bagaimana cara menggunakan dimensi waktu yang kumiliki dengan baik.

Aku tahu, mata dari fisikku terbuka, namun mata yang ada di dalam diri yang menjadi penggerak dan pemberi stimulus bagi apa yang akan aku lakukan sedang tertutupi tirai yang tebal dan tinggi. Tidak, atau mungkin “mata” ku sedang sakit. Sakit, karena digerogoti sesuatu. Atau bahkan ia buta. Oh tidak, semoga itu tidak terjadi.

Alam mulai menganggu nalarku, bising dari mahluk-mahluk lain mulai mengusikku. Ku arahkan mata seluas cakrapandang, hingga menjumpai kaki langit. Semilir angin berhembus sejuk. Kembali muncul pertanyaan “siapakah aku?” apakah aku layaknya debu yang hadirnya hanya sebagai sesuatu yang turut meramaikan semesta ini kemudian berlalu begitu saja. Tidak, mungkin aku salah. Bahkan debu sekalipun memiliki arti. Tanpanya, tak akan ada tetesan-tetesan bening yang jatuh dari awan gelap. Butiran mungil dan halusnya sangat berarti, saat ia bergandengan dengan uap uap air menuju ke langit dan pada akhirnya menjenuhkan awan yang oleh angin diterbangkan dan dijatuhkan sebagai tetesan bening di tempat yang telah ditentukan. Benar, aku telah keliru. Tanpa kehadiran butiran debu, mungkin kita sedikit kesusahan mendefenisikan kata “bersih”, yah walaupun yang mengotori tak hanya debu. Setiap yang ada pasti memiliki makna, makna untuk dirinya dan untuk apa ia hadir. Dan tentu demikian juga dengan “aku”. Pasti di balik kehadiran “aku” ada sesuatu yang syarat dengan makna. Hanya saja mungkin nalar dan “mata” ku sedang tertutupi hingga aku tak bisa memahaminya. Aku mungkin hanya tak bisa menggunakan nalar dan mengkorelasikannya dengan apa yang ada di dalam diriku, apa yang disebut tingkatan-tingkatan dalam tubuh halus ku saat ini.

Lalu siapakah aku ? saat melangkah di jalan pengetahuan diri, “aku” mendapatkan perspektif baru dari setiap kenyataan yang telah teridentifikasi pada perjalanan hidupku. Manusia tersusun atas tubuh kasar dan tubuh halus dengan beragam tingkatan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun aku mengetahui aku adalah perempuan, atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan siapa diriku. Dan aku bukan pula hanya tubuh dan pancaindra.  “aku” memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh secara keseluruhan.

Aku memiliki emosi dan keadaan psikologis yang turut mempengaruhiku, tetapi itu juga tidak mampu menjelasan siapa “aku” sebenarnya. Bahkan sering aku berkata “aku harus mengendalikan perangaiku” yang menunjukan dengan jelas, bahwa terdapat lebih dari satu agen psikologis di dalam diriku. Ya, aku dan kalian memang memiliki emosi,tetapi kita tidak lantas didefenisikan olehnya. Dengan pemikiran yang sama, aku juga memiliki fakultas imajinatif yang mampu mencipta berbagai gambaran dan orang biasa hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk imajinal itu. Tetapi sekali lagi, aku tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk itu.

Aku juga memiliki memori yang menjadi tempat penyimpanan gambar-gambar dan hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman dalam perjalanan hidupku. Sebagian besar orang menganggap pengalaman-pengalaman yang teringat setiap hari sebagai bagian utama dari identitas mereka. Tapi bukankah, aku dan kalian bisa lupa banyak hal dan masih tetap sebagai manusia yang sama.

Banyak yang mengatakan jika manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tubuh, emosi, fakultas imajinatif atau memori, maka tentunya kita adalah apa yang kita pikirkan. Tapi tidak, aku kurang setuju. Di dalam “aku” masih ada tingkatan yang lebih tinggi yaitu hati. Ia adalah organ pemersatu yang terkait dengan akal. Dan jika aku bertanya “siapakah aku?” maka kemudian aku bisa melihat ke dalam hati.

Lalu apa yang aku lakukan di alam semesta ini dan apa yang harus aku lakukan ? hmm, apa yang aku lakukan ini adalah hidup dalam mimpi yang disebut kehidupan sehari-hari, dalam keadaan melupakan apa yang disebut realitas ilahi. Dan kita berada dalam keadaan seperti itu karena kita telah lupa siapa diri kita. Dan aku saat ini ingin terbangun dan menyadari keadaan primordialku sebagai manusia, yang terkadang terkubur jauh di balik banyak lapisan sampah kealpaan. Aku  teringat sabda Rasulullah “Manusia itu tertidur dan ketika meninggal ia terbangun”. Tidak, aku tidak ingin menjadi manusia seperti itu. Aku ingin bangun dan menerima kematian egoku sebagai manusia, semampu apa yang bisa kulakukan. Aku ingin terbangun sekarang, di bawah kondisi yang melibatkan akal dan kehendak bebas daripada terbangun dalam situasi yang tidak berdaya.

Aku ingin terbangun, melalui pintu yang terbuka ke ruang batin hati, karena kesempatan tidak selalu ada, dan boleh jadi napasku yang selanjutnya menjadi napas terakhir. Jika kita tidak melewati pintu itu sekarang maka pintu itu yang akan menutup pada saat dimensi waktu untuk masing-masing kita telah habis, dan mungkin saja pintu itu sudah tidak terbuka bagi kita esok.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, tidak ada jaminan bahwa hidup akan terus berada dalam keadaan yang kita miliki sebagai manusia di dunia ini setelah mencapai keadaan mewujud setelah mati. Aku kembali teringat hadis Rasulullah “Matilah sebelum engkau mati”, yang ditujukan kepada mereka yang bertelinga untuk mendengar dan yang bermata untuk “melihat”

Hidup ini adalah pilihan dan kehendak. Saat kita memilih untuk hidup dengan memegang janji “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah” dan amanah terberat. Amanah yang sulit dipikul, bahkan gunung tak mau memikulnya. Tetapi manusia dengan beraninya mengambil amanah itu, dan memang seperti itulah kehendak pencipta. Hidup adalah pilihan tetapi terkadang hidup tidak mempersilahkan kita untuk memilih. Tapi saat ini aku mengerti, bahwa kita hidup untuk menjalankan amanah itu dan menepati janji yang telah diikrarkan, meskipun itu sulit. Aku yakin, jika Dia menginginkan kita untuk suatu urusan, maka Dia akan membuat kita siap menghadapi urusan itu.

Ku tengadahkan kepala ke langit. Ku tatap warna birunya yang cerah, awan awan mengepul indah, bergerak perlahan, membentuk gambar dan akhirnya hancur, memisahkan diri. Alam ini sungguh indah, banyak hal yang mengajarkanku. Karena tentu hadirnya memiliki makna. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Ad-Dukhaan ayat 38-39.
"Dan tidaklah kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"

Aku kembali merenungi, semesta ini, pergantian siang dan malam, bumi dan apa yang ada di dalamnya, serta planet-planet lain, berjalan dalam ritmenya.


Aku teringat akan sebuah hadis Qudsi yang pernah ku baca dalam sebuah buku. “Aku adalah Khazanah tersembunyi; Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan dunia agar Aku dikenal”. Ya, aku mulai memahami, salah satu tujuanku diciptakan adalah mengenal Allah, di antaranya melalui alam semesta ini. Semesta adalah bagian kecil dari pengungkapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, semesta yang juga disebut cermin “ketiadaan” yang memantulkan “citra” dari Realitas yang ada di hadapannya, Realitas itu tidak terpengaruh oleh pantulannya atau cerminnya dan tidak ada perubahan yang akan terjadi padanya jika cermin itu pecah. 

Semesta, yang biasa disebut ayat kauniyah adalah tanda tanda yang dapat mengajari orang-orang yang berakal. Ya, hanya orang-orang yang berakal, yang menggunakan segenap perangkat pemberian dari Pencipta untuk mentafakkuri apa yang ada di alam semesta ini, membaca helai demi helai rahasia yang terdapat pada sebuah pohon kehidupan raksasa, yang mungkin tak dapat terungkap sepenuhnya, tapi setidaknya aku dan kalian pernah mencoba itu sebagai tanda bahwa kita adalah mahluk-Nya yang berakal.

Kamis, 21 April 2016

Cerpen "Fragmen Kehidupan"


            Suara alam menderu-deru, saling sahut menyahut. Kulayangkan mata ke bentangan yang tertangkap oleh cakrapandang. Aku hidup, tergerakkan dan tergetar merasakan harmoni yang begitu merdu dari semesta. Di ufuk barat sana, mentari perlahan pamit menggelar jubah jingganya. Suara deburan ombak menggema, saat tubuh rapuhnya yang tergerak oleh kekuatan angin menghempas karang yang kokoh yang berjejer di tepi laut. Gerak air menjilat hamparan pasir pantai, menyajikan permadani pasang dan surut silih berganti.

Aku duduk memeluk lutut pada hamparan pasir. Pergerakan udara begitu cepat dan kuat, menyapa tubuhku. Menelisik ke setiap pori jilbab yang ku kenakan. Dingin, terasa begitu dingin. Menikmati ini semua, seperti bumi yang menerima hujan dari langit. Hatiku terbuka, menikmati segala yang ada. Ku tengadahkan kepala, awan di atas sana berarak perlahan, mengepul.. sungguh indah, bersama rona jingga dari sang senja.

Kembali ku layangkan pandang ke depan, mentari nampak bulat. Burung-burung berbondong-bondong, memperindah cakrawala. Hubungan ini terasa begitu erat saat melihat ciptaan-Mu. Untuk sejenak merebahkan sayap hati yang patah karena terlalu sering dideru goncangan yang cukup kuat. Layaknya ombak yang nampak tegar dalam kerapuhannya, mungkin seperti itulah aku. Begitu lemah dalam kesepian dan Engkau adalah kunciku. Kunci dari segala ketenanganku, meski terkadang mataku tertutupi oleh tirai ketidaksadaran, dan terlenakan oleh kebahagiaan semu. Namun, di balik semua itu langkahku, nafasku dan seluruh hidupku adalah untuk-Mu.

Kuhembuskan nafas sekuat-kuatnya, berharap gelisah yang bersemayam ikut terhempas bersama aliran udara dari rongga kehidupanku. Ombak semakin menderu, menyeret perhatianku. Riak gemericiknya seakan bercerita tentang ketegaran. Bagaimana ia mampu menyeret bebatuan jauh dari tempatnya semula, walau sebenarnya bebatuan tak pernah meminta ombak untuk menyeretnya. Bebatuan tak pernah meminta untuk terbuang dari tahtanya. Walaupun bebatuan begitu bangga akan setiap partikel kuat yang tersimpan dalam beratnya. Dalam setiap mantra kuat yang disugestikan untuk kekuatannya, ia kuat. Hingga air yang rapuh dan mendapat dukungan dari angin membentuk ombak yang mampu memindahkan batuan kecil atau bahkan memecah bebatuan besar sekalipun dengan usahanya. Batuan pun tak pernah mengucap kata sepakat untuk mempersilahkan ombak membawanya atau meruntuhkan dinding pertahanan yang begitu kokoh. Namun, gemericik ombak yang datang, menggelora dan mengejutkan dan inilah kenyataannya. Bebatuan itu kalah.

Yah, seperti itulah. Batu yang kuat sekalipun mampu terkalahkan oleh air yang rapuh pada celah tertentu dan saat dimana gaya untuk bertahan menjadi lebih kecil dari tekanan yang ada. Benturan yang terus-menerus, menderu dan merapuhkan apa yang sebelumnya pernah kuat. Semua ini tentang hati, tentang bagaimana ia dirundung putus asa, di saat yang tak terduga, dalam hati yang mulai lelah hingga mampu mengikis sisi realitasnya. Putus asa tak bisa dihindari, karena ia telah menjadi kodrat yang mengejahwantah di setiap hembusan angin kehidupan, memberikan warna-warni dalam hidup.

ku genggam butiran pasir, merasakan hadirnya yang begitu mungil dalam genggaman. Menggenggam dan menghamburkannya. Membiarkan angin membawa unit-unit kecil itu ke tempat lain. Mungkin ke tempat yang lebih indah, entahlah. Yang aku tau, tanpa pasir itu, pantai ini takkan indah. Begitulah, setiap yang ada memiliki makna. Makna untuk dirinya, dan makna untuk apa ia dihadirkan.

Berdiri, ku kibaskan pasir yang menempel pada kain yang membalut tubuhku. Jilbab ungu yang kukenakan berkibar menyambut riak angin. Kulangkahkan kaki perlahan, menyusuri permadani pasir. Menghampiri gugusan pepohonan di sekitar pantai. Ada nyiur yang melambai, dan beberapa ketapang yang berukuran cukup besar. Mereka berdiri dengan gagahnya menantang angin laut yang semakin buas. Namun ada satu tumbuhan yang membuat perhatianku terpusat padanya. tubuhnya yang mungil ingin bertahan dengan akarnya yang pendek. Rantingnya tak seberapa ingin menopang daun yang seadanya. Kulitnya yang tipis ingin memasang senyum menantang angin yang datang. Ya, ia pohon kecil yang ingin kuat di tengah lemahnya. Sapaan angin bukan tamparan bagi tubuh mungilnya, walaupun kadang ia berteriak. Belaian butiran pasir pantai yang terhempas bukanlah tekanan bagi rantingnya, walau kadang ia mengeluh. Ya, ialah pohon mungil yang ingin tegar dalam rapuhnya. Ia tetap hidup bersenandung penuh harap mengajak pucuk-pucuknya menggapai langit. Ia ingin senyuman mentari menyambut hidupnya yang penuh semangat di tengah terpaan angin. Ia menginginkan pelukan awan. Ya, ialah pohon kecil yang mungkin juga tumbuh tak terlihat di dalam diriku atau mungkin di dalam diri-diri setiap orang. Hanya saja,  ada yang menimbunnya bersama ombak yang datang menampar bebatuan kuat yang ada pada dirinya. Hidup penuh dengan kejutan dan kita tak akan pernah tau sebelum mencoba untuk melaluinya.



Jumat, 01 April 2016

CERPEN "Senyum mu adalah cahaya bagiku"


Langit biru tersenyum cerah hari ini. Mentari putih pun kini menaungi segala kisah yang terukir dalam lembaran harianmu. Awan di tempat ini menantimu dari kejauhan berharap di sana, di tempat itu kau tersenyum dengan penuh bahagia. Senyum yang mungkin tak bisa terukir karenaku.


Angin berhembus membangkitkan angan. Angan untuk selalu bersamamu, menemani hari mu dan menjadi salah satu sebab kau tersenyum, bukan sebaliknya. Kau adalah secerca cahaya dalam hidupku, kau datang menyapa tanpa ku sadari mengisi kekosongan hatiku. Angin ini, ia membawa rindu yang menggunung, rindu pada senyum mu, rindu pada seribu bahasa yang kau ukir lewat tatapan teduh itu.


Angin juga hadir membuat benak mu melayang dalam harapan. Membuat kau dan aku terbang, beriringan dan saling menggenggam tanpa kata penghubung. Yang aku tahu, kau mengharap senyum terukir dari wajahku dalam diam, kau adalah lampu senterku saat aku sendiri dalam alam sunyi. Kau memberiku banyak alasan untuk tersenyum. Yah, kau seperti itu di mataku. Tingkahmu, candaanmu membuatku lebih mengerti hidup ini. hidup sebenarnya yang sangat berbeda dari apa yang aku jalani. Hidupmu yang mengajarkanku.


Aku tak bisa hentikan hatiku saat kau bersinar di mataku. Kau mengisi malam-malamku dengan mimpi-mimpi yang datang tanpa sengaja ku undang. Namun tiba-tiba saat ini dan detik ini kulihat bentukan bayang yang sangat kukenal jelas datang mengukir di balik cahayamu. Mengikuti setiap langkahku. Kau pun tahu, bayang itu pernah meninggalkanku membuatku menikmati waktu sendiri dalam kekosongan,  ia tak hadir saat gelap datang menyapaku. Akupun tak mengerti, mengapa bayang itu selalu saja hadir saat ada cahaya. Kini cahaya sentermu mulai meredup, tapi bagiku kau menjelma menjadi bintang. Tidak, bahkan kau bukan lagi bintang paling bercahaya, kau adalah bulan. Bulan yang hidup menghiasi langit malam dan awan kelabu dalam kesepian.

Tetapi, kau tak akan pernah menyadarinya. Karena aku hanya sesosok angin dingin yang berhembus menjadi seseorang yang berlalu begitu saja untukmu. Dengan kau sadari saat angin yang ku hembuskan adalah sepatah kata cinta dan ungkapan kasih sayang untukmu dalam hangat. Kau seolah merasa kedinginan. Entah kau yang tak pernah mau menyadari, ataukah aku yang terlalu menutup diri dari cintamu.




Aku tahu, aku tak pantas berharap lebih padamu. Kau adalah sebongkah cahaya yang tak akan mungkin dapat aku capai walau menggunakan tangga terpanjang sekalipun. Aku tak pernah meminta untuk menyayangimu sedalam ini. Tidak, aku tak pernah meminta itu. Tapi aku tak tau dengan hatiku, karena kau selalu saja bersinar di mataku hingga saat ini. aku mungkin bodoh, bodoh karena membiarkan diri berdiri di antara dua jalan dalam waktu yang bersamaaan. Ragaku mungkin ada di antara kedua sisi jalan itu, namun tak bisa ku pungkiri hatiku dan pikiranku hanya mampu menari di sisimu, yah itu yang aku tau. Tapi apakah aku tak bisa dan tak boleh menggapai bahagiaku ? ataukah tuhan menyediakan kebahagiaan lain untuk kita ? kau dan aku tak pernah tau segalanya. Aku yang terlalu bodoh. Air mata adalah satu-satunya cara bagaimana mata berbicara saat bibir tak mampu lagi mengungkapkan apa yang aku rasakan. Untuk saat ini, yang bisa kuharapkan hanyalah senyum mu, yah cukup dengan senyum mu maka semua yang terjadi di antara kita dapat ku simpan dengan rapi dalam kotak putih yang bernama kenangan indah.

Kamis, 03 Maret 2016

PUISI "Kepingan Hati"




Mentari masih hangat mendekap
rona kilau menutup wajah langit
angin mengibaskan jubah
menghempas tirai penutup sendu

Dentungan itu masih terdengar
semakin jelas ia mengejar
sesak, mengeja waktu yang tersisa
tersengal di jembatan penantian asa

Kulamat dengan pandang
keluar dari bilik waktu
saat tubuh dihujam seribu tanya
untuk setiap langkah yang terjejak

Hujan, turunlah
Luluhkan hati yang membeku di alam fana
saat adam mencari rusuknya
maka hawa hanya mentahtakan rasa

lalu, perih bercumbu dengan sepi
membawaku terlilit rantai penat
sendu dan pilu beradu
musnahkan terang yang pernah tercipta

tahukah kau ? bingkai gambarnya masih terpajang kokoh
di dinding hati yang terpasung.. acuh
dalam angkasa pikiran terbayang
akan beribu kata yang melayangMentari masih hangat mendekap
rona kilau menutup wajah langit
angin mengibaskan jubah
menghempas tirai penutup sendu

Dentungan itu masih terdengar
semakin jelas ia mengejar
sesak, mengeja waktu yang tersisa
tersengal di jembatan penantian asa

Kulamat dengan pandang
keluar dari bilik waktu
saat tubuh dihujam seribu tanya
untuk setiap langkah yang terjejak

Hujan, turunlah
Luluhkan hati yang membeku di alam fana
saat adam mencari rusuknya
maka hawa hanya mentahtakan rasa

lalu, perih bercumbu dengan sepi
membawaku terlilit rantai penat
sendu dan pilu beradu
musnahkan terang yang pernah tercipta

tahukah kau ? bingkai gambarnya masih terpajang kokoh
di dinding hati yang terpasung.. acuh
dalam angkasa pikiran terbayang
akan beribu kata yang melayang

FISIOLOGI HEWAN "Reseptor dan Efektor"

Minggu, 28 Februari 2016

PUIS "Cerita Tak Berujung"


live your life such a manner that when you die the worlds cries and you rejoice


Terasa lama hari hari berlalu
tak ada yang mengusikku untuk mengukir peristiwa
segalanya berbaring bersama dentingan waktu
cerita yang tak pernah usai !

Detik demi detik mengusungku
musim tak pernah berjanji jika berganti jubah
begitu pula dengan larik larik mentari
tak berjanji untuk setia mendekap

Sungai takkan kembali ke hulu
embun yang jatuh takkan kembali ke helai daun
pandanglah..

Aku bagai belatung, menggeliat dalam luka
membersihkan darah dan nanah
dari rasa nyeri kehidupan
sakit, terkubur pada batin
yang tercabik oleh kenangan
kuas kanvas pun tak mampu menggoreskan apa-apa
kecuali darah dan endah apa. mengaduh !

MANUSIA-MANUSIA lain mengukir cerita
gerak kaki membunuh huruf-hurufnya
menciptakan kekosongan nurani
mengupas banyak hati dalam bingkai dusta

Lihatlah, wajahyang kelam
terpanggang bara api dalam dadanya
Bunga-bunga kering dan kotor
mereka meraihnya dengan cara yang salah

Jumat, 19 Februari 2016

Menggenggam Kekayaan Sejati dengan Sifat Qana'ah



Menggenggam Kekayaan Sejati 
dengan Sifat Qana'ah



Di dalam diri manusia terdapat sebuah keinginan untuk memiliki kekayaan berupa harta benda. Keinginan itu akan berdampak negatif atau positif tergantung pada hal yang mendasari munculnya keinginan tersebut. Sesorang yang tidak bsa mengarahkan keinginannya kepada hal yang positif akan mengejar kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar.
Pengaruh qana’ah dan merasa cukup bagi seorang mukmin di antaranya ia tidak memandang dan tenggelam atas karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya, yang berupa kenikmatan dunia, sebagaimana firman-Nya,
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami coba mereka dengannya. Dan karunia tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S Thaha: 131)
Kemudian ia akan selalu meyakini bahwa rezeki akan selalu datang kepadanya.
Lalu, ia akan terlihat tenteram, tenang dan tidak akan berlebih-lebihan dalam mencari kesibukan duniawi. Segala sesuatu akan diberikan rezkinya masing-masing. Pengaruh lain dari sifat qana’ah adalah zuhud terhadap dunia. Ia tidak merasa senang menerimanya dan tidak bersedih jika kehilangan sesuatu, sebagaimana firman Allah,
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Q.S Al-Hadid: 23)
Qana’ah adalah ridha dengan rezeki yang dianugrahkan oleh Allah swt dan merasa cukup meskipun sedikit dan tidak mengejar kekayaan dengan cara meminta-minta kepada manusia dan mengemis. Rasulullah saw bersabda,
Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki dan dianugerahi sifat qana’ah atas segala pemberian” (Hasan. HR. Tirmidzi).
Rasulullah menuntun kita agar ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah baik itu berupa nikmat kesehatan, keamanan, maupun kebutuhan harian.
Qana’ah adalah gudang yang tidak akan habis. Sebab, qana’ah adalah kekayaan jiwa. Dan kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa melahirkan sikap memberi kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri tidak meminta kepada orang lain. Sedangkan, kekayaan harta dan tamak pada harta melahirkan kehinaan diri.
Tamak pada harta bertentangan dengan qana’ah. Rasulullah telah mengingatkan bahaya tamak ini. beliau menganggap tamak merusak agama dan mencelakakan pemiliknya, sebagaimana serigala lapar akan membuat elaka sesekor kambing. Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ka’ab bin Malik Al-Anshari bahwa Rasulullah bersabda, “Dua serigala yang lapar yang dikirim dalam (kandang) kambing tidaklah lebih merusak dari tamak dan berlebihannya seseorang pada harta bagi agamanya.”
Termasuk qana’ah adalah tidak berlebihan dalam makan, minum, pakaian, perhiasan dan tempat tinggal, serta segala kebetuhan yang menyibukkan dari akhirat. Termasuk qana’ah adalah pendek angan-angan, dan tidak sibuk memikirkan prediksi, kekayaan dan rezeki di masa yang akan datang. Terlalu banyak memikirkan hal itu dapat menjadi sebab sibuk dari taat, ibadah dan jalan akhirat.

Manfaat sifat Qana’ah

Perlu kita ketahui bahwa sifat qana’ah merupakan sifat terpuji dan tentunya terdapat banyak manfaat jika kita berusaha menerapkan sifat ini dalam kehidupan kita, diantara manfaatnya yaitu
           
            1.   Memperkuat iman


Ketika kita puas atas apa yang telah Allah swt berikan kepada kita, hati kita akan selalu dihiasi dengan keimanan kepada Allah SWT. Kepuasan kita mendorong kita untuk selalu meyakini bahwa Allah SWT telah menetapkan jatah rezeki untuk kita, sehingga kita tidak takut ketika merasa ketidakcukupan. Ini sangat berkaitan dengan salah satu rukun iman, yaitu iman kepada takdir. 

            2.   Sifat qana’ah mencerminkan rasa syukur kita kepada Allah swt.

Dengan sifat qana’ah, kita akan selalu merasa cukup dengan apa yang diberikan oeh Allah swt.
كن ورعًا تكن أعبد الناس، وكن قنعًا تكن أشكر الناس
Jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau menjadi manusia yang paling baik dalam beribadah. Dan jadilah seorang yang qana’ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur” (Shahih. HR. Ibnu Majah)
Hati yang dipenuhi rasa qana’ah, akan membiaskan kebahagiaan dan menimbulkan rasa syukur sehingga segala kesempitan dalam hidup akan hilang.
3.      Memperoleh kehidupan yang lebih baik

Allah akan memuliakan para hamba-Nya yang beriman dengan memberikan hati yang tenang, kehidupan yang tenteram serta jiwa yang ridha, yang semua itu menunjukkan akan keutamaan qana’ah. Tidak diliputi kegelisahan karena merasa kekurangan atas jatah rezeki yang ditetapkan, tidak pula dihinggapi berbagai penyakit hati yang meresahkan jiwa sehingga terkadang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang buruk. Hati yang baik akan melahirkan amalan lahiriah yang baik. Sebaliknya, hati yang buruk karena dijangkiti penyakit akan melahirkan perilaku yang buruk.

           4.  Memperoleh kekayaan yang sejati

Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan jiwa, yaitu orang yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki orang lain. Ia tidak berharap dengan apa yang dimilki orang lain, baik berupa harta maupun tahta. Tidak sedikit orangyang kelihatannya kaya secara materil padahal hatinya miskin dan mengharap apa yang dimiliki. Inilah kefakiran yang sebenarnya. Betapa banyak orang yang tampaknya fakir tetapi hatinya merasa senang bersama Allah dan merasa cukup dalam pandangan manusia. Inilah kekayaan sesungguhnya.

Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-Nya, shallallahu’alaihi wa sallam.
Rasulullah saw bersabda

Abu Dzar radhiallahu’anhu mengatakan Rasulullah shallallhu’alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu adalah kekayaan sebenarnya?” saya menjawab “Iya, wahai Rasulullah”. Beliau kembali bertanya, “Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya harta?” Diriku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati.” (HR. An-Nasaai dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban: 685)

“Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, tetapi orang kaya adalah orang yang kaya hatinya” (HR. Syaikhain dari Abu Hurairah r.a.)

Tips agar bisa menetapkan sifat qana’ah:

1.      Memperkuat keimanan terhadap takdir Allah, kesabaran dan tawakkal
Keimanan terhadap takdir Allah merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qana’ah, diiringi dengan memperkuat sifat sabar dan tawakkal. Ketika sifat qana’ah tidak terdapat dalam diri kita berarti ada kekurangan dalam keimanan terhadap takdir Allah, kesabaran kita masih minim, begitu pula dengan rasa tawakkal.
2.      Memahami hikmah Allah menciptakan perbedaan rezeki dan kedudukan di antara hamba-Nya
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (az-Zukhruf: 32).
Salah satu hikmah timbulnya perbedaan rezeki sehingga ada yang kaya dan yang miskin adalah agar kehidupan di bumi bisa berlangsung, terjadi hubungan timbal-balik di mana kedua pihak saling mengambil manfaat, yang kaya memberikan manfaat kepada yang miskin dengan harta, sedangkan yang miskin memberikan bantuan tenaga kepada yang kaya, sehingga keduanya menjadi sebab kelangsungan hidup bagi yang lain (Tafsir al-Baghawi).
Selain itu, kondisi kaya dan miskin itu merupakan ujian, dengan keduanya Allah hendak melihat siapakah di antara para hamba-Nya yang berhasil.
3.      Melihat kondisi mereka yang berada di bawah kita
Di dunia ini kita pasti akan menemukan orang yang memiliki kondisi ekonomi di bawah kita. Jika kita ditakdirkan ditimpa musibah, pasti di sana ada mereka yang diuji dengan musibah yang lebih daripada kita. Jika kita ditakdirkan menjadi orang yang fakir, pasti di sana ada orang yang lebih fakir. Oleh karenanya, mengapa kita menengadahkan kepala, melihat kondisi orang yang diberi kelebihan rezeki tanpa melihat mereka yang berada di bawah?

Referensi:
Al Hilali, Majdi. 1999. 38 Generasi Unggulan. Jakarta: Gema Insani.
Faris, Muhammad Abdul Qadir Abu. 2006. Menyucikan Jiwa. Jakarta: Gema Insani.

Qona'ah, Merengkuh Kekayaan Sejati  http://kliktarbiyah.blogspot.co.id/2015/04/qonaah-merengkuh-kekayaan-sejati.html

Nurfadillah Salam