Rabu, 20 Juli 2016
HUJAN DI BULAN FEBRUARI
Akankah hujan yang tak berhenti mampu membersihkan langit ? adakah dinginnya udara mampu membekukan kegelisahan ?pertanyaan aneh lagi-lagi muncul dalam benakku. Duduk sendiri membuat anganku mengasing ke tempat entah beranta. Bersama sepi, aku hanya bisa menikmati apa yang disajikan oleh alam. menikmati hujan, hembusan angin dan dekapan lembut dari suara dedaunan. Berharap hujan dan dinginnya udara mampu membandung semua rasa tak mengenakkan yang satu per satu perlahan hadir menyumpal kesadaranku di alam nyata, menyeretku ke alam khayal yang tak berujung.
yah, kali ini hujan kembali menyapaku. di jam yang sama.
Hujan ini mengingatkanku akan hari itu. yah, saat hujan di bulan Februari. sejak saat itu, begitu banyak kata yang tak tersampaikan. Sangat banyak, hingga seakan semuanya ingin tumpah dan mengguyurku dalam kebisuan. dinginnya udara saat itu mengikat simpul yang kuat bersama nada-nada yang tercipta dalam hati. begitu banyak hal, yang entah harus ku lukiskan lewat gambar apa, entah harus kulantunkan dengan kata yang seperti apa. aku tak tahu. aku hanya bisa diam.
bait-bait puisi mulai terukir rapi dalam memo hatiku bersama gurat bahagia yang ku rasa, di bawah naungan awan, hujan di bulan februari. saat yang mungkin tak akan pernah terlupakan
mengenang hujan di bulan februari, kuraih secarik kertas dari meja tulis kecil yang ada di sampingku bersama pulpen. mulai kusalurkan kenangan di bulan februari itu lewa bait-bait puisi.
LAGU BATIN
Inilah lagu batinku, suara-suara angin di antara musim
hujan dan udara yang lembab..
biarlah,
akhirnya hanyut bersama suara hujan
dari negeri mimpi, biarlah semua mengambang
dalam ruang kecil penuh siul dari sang sepi
alunan-alunan hati memetikkan dawai giar
menghiburmu sang sepi !
memadukan rasa bersama nada
semuanya tertulis sangat lancar, mengalir bersama rinai hujan. ku arahkan tatapan melalui kaca jendela. kutatap hujan yang semakin menjadi. sepertinya puisi tak cukup menghiburku. lalu kuraih gitar dan memainkannya hingga akhirnya tercipta sebuah lagu.
AWAN MASIH MENUNGGU
Kau adalah sepotong kisah
yang mengisi lembaran dalam hidupku
hadirmu membawa senuhan hangat
di balik larik senyuman indahmu
dan kau tak pernah tau
awan di sini masih menunggu
dan kau tak pernah tau
awan hanya menanti senyumanmu
kau adalah mentari yang bersinar di siang hari
dan kau adalah cahaya rembulan
di malam-malamku
you're always deep in my heart
Rabu, 18 Mei 2016
Kamis, 12 Mei 2016
CERPEN "Bintang di Siang Hari"
Bintang di siang hari
Mentari nampak masih malu mengepakkan jubahnya, yang ditandai dengan rona jingga dari ufuk timur.
Perlahan gugusan awan berjejer rapi menutupi langit yang masih kelam. Bulan mengedipkan
matanya, mungkin sebagai isyarat bahwa ia akan kembali ke peraduannya karena cahaya
mentari akan mengalahkan sinarnya. Luna menghirup udara dalam-dalam. Terasa
jelas uap air dari udara yang lembab masuk ke dalam tenggorokannya. Udara itu
memulai perjalanan barunya, berganti dari lingkungan atmosfer, membawa oksigen
masuk ke dalam aliran darahnya.
Setiap orang pasti menyukai suasana pagi seperti ini, tak
terkecuali seorang Luna yang sejak tadi berada di jalan ini. Di kanan kiri
jalan gugusan rumah dengan stelan modis bejejer dengan rapinya. Earphone berwarna merah jambu nampak
melekat di kepalanya yang berlapiskan jilbab kaos hijau tosca. Setelannya sederhana,
dengan sweater abu-abu dan celana olahraga hitam bercorak garis-garis putih. Ia
hanyut dalam lagu yang ada di playlist. Langkahnya pelan saja. Tangannya sejak
tadi di letakkan di dalam kantong sweater yang ia kenakan.
Sesakali gadis itu mengangguk-nganggukan kepala seperti
hanyut dengan setiap alunan lagu, menelisik alam bawah sadarnya, hingga tak
memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Sesekali pandangan
orang lain tertuju padanya, mungkin mereka sedikit risih dengan sikap Luna itu.
Namun, sang gadis tak menyadari itu dan terus saja melangkahkan kaki dengan sesekali
berlari-lari pendek.
Cukup lama ia seperti itu. Yang benar saja, semua orang yang
menjumpainya adalah tetangga yang tentunya ia kenal, tapi tak satu pun sapaan
mengudara dari bibir mungilnya itu. Hingga membuat orang lain juga merasa
enggan menegur. Dari arah belakang seseorang nampak berlari kencang mengejar Luna.
Semakin dekat langkah itu semakin cepat dan pada akhirnya tangan berkulit sawo
matang menyentuh bahu Luna. Namanya Naima. Ia adalah sahabat Luna. Tubuhnya
yang sepuluh senti lebih tinggi kini berdiri sejajar dengan Luna. Nafasnya
terengah-engah, seakan ia ingin menghirup semua udara yang ada. Tatapannya sayu,
nampaknya ia ingin mengucapkan banyak hal namun tersandung oleh nafasnya yang
masih tak karuan.
"Tarik
nafas dalam-dalam dulu naima, baru kamu bicara" ucap Luna menenangkan sahabatnya
itu sambil mengukir senyum tipis yang sungguh manis.
Kata-katanya itu direspon dengan anggukan dari naima. Beberapa detik berlalu,
nafas naima mulai normal.
"sejak
tadi aku manggil kamu tapi gak ada respon, sampe doer bibirku ini
berteriak"
Luna tertawa mendengar celotehan sahabatnya itu.
"Sory-sory,
kamu kan liat sendiri aku pake earphone"
"Hari
ini kan kita mau ke pegunungan, kamu gak mau siap-siap ? Kita harus ada di
kampus loh jam delapan tepat, kalau tidak kordinator asisten kembali mengurai
celotehan panjangnya Entah bilang kita itu harus disiplinlah, gak boleh pake
jam karet, dan kata yang paling aku gak suka kalau kordinator nyumpain dengan
kata andalannya, yang tidak disiplin nanti MANDUL !!!"
Naima berceloteh panjang
lebar layaknya lintah penggunjing yang mengurai semua kejelekan koordinator asisten
tanpa rem. Kata- katanya jika dapat diurai mungkin separuh jalan sudah penuh
dengan kata-kata. Luna hanya
menggelengkan kepala mendengar celotehan naima, mungkin juga dalam hatinya
terselip rasa jengkel dengan sikap naima yang merusak suasana pagi yang harusnya
penuh dengan semangat. Namun naima dengan segala uneg-unegnya seaian ingin menutup
semangat pagi ini.
"Iya.
Ntar jam 7 aku siap-siap. Aku masih mau nikmatin udara pagi yang sejuk
ini" sambil tersenyum.
Senyum manisnya itu selalu mampu membuat siapapun yang
melihatnya menjadi tenang. Betapa tidak, bibirnya yang merah merekah sangat
menyejukkan mata. Bak setetes air yang jatuh di tanah berpasir, ia akan
seketika terserap ke dalam hati orang-orang yang melihatnya.
…
Dari
kejauhan, terlihat seorang gadis berlari dengan cepat dan nafas tergopoh-gopoh,
langkahnya makin lama makin lambat saja. Dengan cepat, ia menyusuri koridor
kampus yang saat itu nampak sepi, satu persatu pintu di lorong ruangan ia buka.
Luna
terus berlari
hingga pada akhirnya mencapai persimpangan lorong dan berbelok ke arah kanan. Langkahnya
mulai pelan, tatapannya tertuju pada lapangan
yang berada di tengah-tengah gedung kampus. Di sana, nampak teman-teman
seangkatan Luna yang sedang berbaris. Mereka nampak antusias mendengarkan
nasihat-nasihat yang disampaikan oleh kordinator praktikum. Ya, kali ini Luna
dan teman-temannya akan ke pegunungan untuk melakukan praktek lapangan dan mencari
tanaman yang akan dijadikan bahan praktikum botani nanti. Dengan gugup, Luna mengayunkan
langkah ke arah salah satu barisan yang berada di bagian tepi kiri. Keberuntungan
kali ini berpihak pada Luna, karna pak kordinator tidak menyadari
kedatangannya, sehingga dengan mudahnya ia bisa bergabung dengan yang lain tanpa
terlebih dahulu telinganya di panasi oleh kata-kata dari pak kordinator.
"Lun,
kamu dari mana aja sih. Kok terlambat" sapa Naima.
"Humm..
Jelas-jelas aku dari luar Naima." jawab Luna dengan nafas yang masih tidak beraturan.
"Maksud
aku, kamu abis ngapain kok bisa terlambat"
"Yah,
itu sih beda lagi redaksi pertanyaannya Naima, tadi tu ban motor adikku bocor, trus
aku bantu nyari tukang tambal ban, tapi sialnya, ini pagi-pagi buta, jadi ngaak ada bengkel
yang buka. Terpaksa deh aku naik angkot. Kamu kan tau sendiri kalau naik
angkot, jaraknya itu cukup jauh karena harus ikut jalur angkot, di tambah lagi
macetnya minta ampun" Luna menjelaskan panjang lebar, sementara Naima hanya ngangguk-ngangguk
tak jelas antara mengerti atau cuman pura-pura mendengar. Kan cuman ada dua
pilihan tuh kalau orang di ajak bicara trus bisanya cuman ngangguk-ngangguk.
"Baguslah"
respon Naima
"Hah.. Kok bagus sih"
"Yah
bagus donk karna kamu masih sempat dapat angkot" jawab Naima dengan senyum nyengir ala anak
manis.
"Ia
juga sih" angguk Luna tanda mengerti
Hening, tidak ada lagi percakapan antara Luna dan Naima. Masing-masing sibuk
mendengarkan nasehat dari kordinator asisten. Luna sesekali melayangkan pandang
ke arah barisan yang berada di sebelah kanan. Matanya mencari-cari sosok
jangkung yang beberapa pekan terakhir ini sering bersemedi di pikirannya,
meskipun sudah ia usir semampunya. matanya tak menjumpai sosok itu, membuat
rasa kecewa bertengger di hatinya. Kembali Luna mendengar nasehat kordinator
asisten.
Tiba saatnya pembagian kelompok Setiap kelompok akan menaiki
bus yang sama menuju puncak. Rasa harap menjelma di dalam hati Luna, ia ingin
jika bisa sekolompok dengan orang yang tadi ia cari-cari. Dan bagai kejatuhan
bunga tomat dari atas kepalanya, harapannya menjadi kenyataan. "Memang
benar hukum kesetimbangan itu, memikirkan sesuatu akan mendatangkan apa yag
diinginkan itu" gumamnya dalam hati di ikuti senyuman manis yang
tersungging di bibirnya.
"Heeii.. Kok senyum-senyum
lun" senggol Naima yang berdiri di sebelah kanannya.
"Haa..
Iya kenapa Naima
?"
"Gak
ada angin, gak ada hujan kok senyum-senyum sendiri?" ledek Naima
"Kalau
ada angin dan hujan, aku sih gak bakalan senyum, tapi melarikan diri ke tempat
yang aman, gimana sih" sambung Luna
"Hmm..
Memang yah kalau orang pinter bawaannya serius mulu, maksud aku kan gak ada
sesuatu yang lucu dan lain sebagainya, kok senyum-senyum? "
"Naimaku yang cantik, setiap orang
kan punya imajinasi yang bisa menghadirkan sejuta rasa, bisa bikin orang senang
ataupun sedih, gak mesti ada sesuatu dari luar" respon Luna dengan nada sesikit menekankan, ya
walaupun sebenarnya ia berusaha menutupi apa yang membuatnya tersenyum sendiri.
"Iya
deh bu guru
Luna" Naima menyerah
Luna
nampak puas, ia tidak mesti menjawab pertanyaan dari Naima.
…
Perjalanan dimulai, satu persatu mahasiswa menuju bus dengan
membopong ransel besar, bekal pakaian dan perlengkapan lain selama 2 hari di
puncak.
Luna melangkahkan kaki dengan hentakan semangat. Seperti
biasa, ia sangat senang jika mengunjungi tempat baru apalagi ini ke daerah
pegunungan dan bersama teman-teman sekampusnya, terlebih lagi kata temannya
yang abis ceklok alias cek lokasi, di sana tempatnya sangat indah, dijuluki
desa seribu bunga karena disana ada banyak bunga, mulai dari bunga yang biasa dijumpai di kota sampai bunga
yang cukup langkah seperti bunga masamba dan Edelwiss.
"hmm.. Pasti
sangat menyenangkan" batin Luna.
"Luna,
ayo duduk di sampingku, di sini masih kosong" teriak Dias yang duduk tepat
di belakang supir. Dias adalah teman sekelas Luna.
Luna yang masih bingung untuk memilih ingin duduk di mana
seketika mengikuti ajakan Dias. Dengan sigap Luna meletakkan tasnya di tempat
penyimpanan tas dan segera menghempaskan tubuhnya di atas kursi bus dengan
balutan kain berwarna biru. Ia mengambil posisi di dekat jendela agar bisa melihat
pemandangan selama perjalanan. Ada kelebihan ia duduk di belakang pak supir,
karna tepat di depannya ada cermin yang membuatnya mengetahui apa saja yang
dilakukan oleh orang-orang yang berada di belakangnya. Tepat di bangku ke 3
dari belakang, di sana duduk sosok yang sempat ia cari di halaman kampus.
Lagi-lagi senang membuncah di dalam dada Luna, walaupun hanya dengan menatap wajahnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, bus berhenti
untuk isoma alias istirahat, sholat dan makan. Bus berhenti tepat di depan
sebuah mesjid, karena bertepatan dengan waktu sholat dhuhur, Luna mendahulukan
untuk sholat sebelum makan.
Setelah berwudhu, Luna segera berjalan menuju tempat sholat, namun ada satu hal
yang mengejutkan Luna. Sosok itu ternyata kini berada di depannya, menatapnya dengan teduh,
Luna berpura-pura melap butiran air yang bergelantungan di wajahnya. Melihat
tatapan itu, Luna jadi seperti kerupuk yang disiram air panas. Luna hanya
berjalan cepat menjauhinya, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Jangankan
mengucapkan sepatah kata, untuk bertatapan lebih lama saja Luna tak pernah berani.
Luna hanya bisa menatapnya dari kejauhan, memandangi kesederhanaannya dalam
bersikap, memandang keteduhan senyumnya.
Di puncak, setiap rombongan bus di beri tempat khusus masing
untuk beristirahat sejenak kemudian segera melakukan agenda pertama yaitu
menuju ke beberapa tempat untuk berburu berbagai jenis tanaman tertentu. Udara
terasa sangat sejuk meski saat itu pukul 2 siang, jika di kota tak akan seperti
ini. Di kota, jam 2 siang biasanya hanya dihabiskan dengan beraktifitas di dalam ruangan,
betapa tidak, mentari sangat agresif menyapa bumi dengan radiasi panasnya yang
sangat menyengat saat musim kemarau. Berbeda dengan kota, tempat ini sangat dingin,
jarak pandang hanya sekitar 15 meter, udara terasa sangat dingin merasuk ke
dalam pori-pori jaket ungu yang dikenakan Luna. Di temani teman-teman sekelompoknya, Luna berjalan membelah
kabut di antara perkebunan wortel yang di selingi oleh rumah-runah warga yang
hanya bisa si hitung jari. Di pekarangan rumah warga banyak sekali karangan bunga
dengan warna yang bermacam-macam, ada bunga mawar, krisan, melati, bunga-bunga
lain yang membuat Luna kagum, kagum dengan keindahannya dan tentunya semakin
menambah rasa kagumnya pada pencipta semua ini.
Lelah mulai terasa, Luna menghentikan langkahnya, tiba-tiba
sosok itu hadir, ia sepertinya melangkah ke arah Luna.
"Aduh,
bagaimana nih." batin Luna, kakinya kini seakan menjelma jadi agar-agar, sepertinya
tidak mampu menopang tubuhnya. "Lun, bawa sanatai aja" nasehatnya
pada diri sendiri.
Ia kemudian memberanikan diri berjalan berdampingan
dengannya, mesti hanya saling menganggap sebagai angin. Yah, angin yang ada namun
tak terlihat. Tak pernah ada yang peduli tuk berusaha melihat angin, karena
memang ia tak terlihat namun jelas adanya.
Semua ini bermula dari tatapan bintang. Bintang itu bersinar meskipun siang hari, menyapa ketidaksadaran Luna bahwa selama ini bintang itu sering mengawasinya dari
jarak yang jauh. Bintang itu hadir di matanya, memberikan harapan yang mungkin
tak terbalaskan. Bintang itu bersinar di matanya, sosok yang mengisi pikiran
Luna saat ini.
CERPEN "Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan"
Membaca Dedaunan dari Pohon Kehidupan
“Aku
berpikir maka aku ada”. Kata-kata dari Descartes ini sangat populer, dan kata
kata inilah yang saat ini mengaung di pikiranku, saat aku termenung. Pikiranku
berjalan menyusuri jalannya sendiri, melupakan eksistensi fisikku yang berada
di alam hampa. Aku bernapas, dan bergerak atau mungkin lebih tepat disebut tergerakkan.
Tergerakkan oleh sesuatu yang ada di dalam diriku. Entah sesuatu apa itu, ia
tak berwujud namun mampu memberikan dorongan bagiku untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Kekuatan itu sangat kuat, hingga mampu mengalahkan nalarku.
Nalarku terkalahkan olehnya. Nalarku inginkan ketenangan, namun aku tak bisa
menggapai ketenangan itu karena ditentang olehnya.
Ku
hembuskan nafas sekuat-kuatnya. Terasa udara hangat menyembul keluar dari
rongga hidungku. Aku begitu hampa. Fakultas imagi dan nalar mengambil alih
diriku, membawaku menyusuri lorong gelap dengan tepi bertembok kokoh dan raut
mencekam. Di sini begitu sepi, aku takut. Sedang apa aku di alam hampa ini ? apa
yang aku lakukan di sini? Dan untuk apa aku ada? Pertanyaan-pertanyaan itu satu
persatu hadir membuat nalarku sesak dan tersumpal dengan banyak hal dan jawaban
tak pasti. Ini semakin sulit saat pertanyaan-pertanyaan lain datang menyertai.
Aku
tau, saat ini aku hidup, mengikuti irama semesta yang menari dalam dimensi
waktu. dimensi yang terus saja berjalan, tanpa bisa dimundurkan bahkan walaupun
itu untuk sesaat yang lalu, dimensi itu pun sama sekali tak bisa dihentikan. Ia
terus saja berjalan tak perduli dengan riak-riak manusia yang mengisi dimensi
itu. Aku tak pernah tau, dari mana dimensi waktu dan ruang semesta ini berasal,
di mana ujungnya dan ke mana tujuan pergerakannya. Yang aku tau, aku hadir di
sini, di alam semesta ini, saat ini, tanpa tau diriku sebelum diciptakan ada di
mana, dan mengapa saat ini aku ada. Aku “ada” untuk apa, dan mengapa saat ini
hanya ada kekosongan. Yah, hanya ada kekosongan. Bukan kekosongan dari materi,
tapi dari sesuatu yang entah harus kusebut apa. Mungkin kekosongan akan tujuan.
Bertahun-tahun usia terhabiskan, ia berlalu tanpa jejak yang membekas jelas,
dan hingga saat ini aku tak tau bagaimana cara menggunakan dimensi waktu yang
kumiliki dengan baik.
Aku
tahu, mata dari fisikku terbuka, namun mata yang ada di dalam diri yang menjadi
penggerak dan pemberi stimulus bagi apa yang akan aku lakukan sedang tertutupi
tirai yang tebal dan tinggi. Tidak, atau mungkin “mata” ku sedang sakit. Sakit,
karena digerogoti sesuatu. Atau bahkan ia buta. Oh tidak, semoga itu tidak
terjadi.
Alam
mulai menganggu nalarku, bising dari mahluk-mahluk lain mulai mengusikku. Ku
arahkan mata seluas cakrapandang, hingga menjumpai kaki langit. Semilir angin
berhembus sejuk. Kembali muncul pertanyaan “siapakah aku?” apakah aku layaknya
debu yang hadirnya hanya sebagai sesuatu yang turut meramaikan semesta ini
kemudian berlalu begitu saja. Tidak, mungkin aku salah. Bahkan debu sekalipun
memiliki arti. Tanpanya, tak akan ada tetesan-tetesan bening yang jatuh dari
awan gelap. Butiran mungil dan halusnya sangat berarti, saat ia bergandengan
dengan uap uap air menuju ke langit dan pada akhirnya menjenuhkan awan yang
oleh angin diterbangkan dan dijatuhkan sebagai tetesan bening di tempat yang
telah ditentukan. Benar, aku telah keliru. Tanpa kehadiran butiran debu,
mungkin kita sedikit kesusahan mendefenisikan kata “bersih”, yah walaupun yang
mengotori tak hanya debu. Setiap yang ada pasti memiliki makna, makna untuk
dirinya dan untuk apa ia hadir. Dan tentu demikian juga dengan “aku”. Pasti di
balik kehadiran “aku” ada sesuatu yang syarat dengan makna. Hanya saja mungkin
nalar dan “mata” ku sedang tertutupi hingga aku tak bisa memahaminya. Aku
mungkin hanya tak bisa menggunakan nalar dan mengkorelasikannya dengan apa yang
ada di dalam diriku, apa yang disebut tingkatan-tingkatan dalam tubuh halus ku
saat ini.
Lalu
siapakah aku ? saat melangkah di jalan pengetahuan diri, “aku” mendapatkan
perspektif baru dari setiap kenyataan yang telah teridentifikasi pada
perjalanan hidupku. Manusia tersusun atas tubuh kasar dan tubuh halus dengan
beragam tingkatan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun aku mengetahui aku adalah
perempuan, atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan siapa diriku. Dan aku
bukan pula hanya tubuh dan pancaindra.
“aku” memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh
secara keseluruhan.
Aku
memiliki emosi dan keadaan psikologis yang turut mempengaruhiku, tetapi itu
juga tidak mampu menjelasan siapa “aku” sebenarnya. Bahkan sering aku berkata
“aku harus mengendalikan perangaiku” yang menunjukan dengan jelas, bahwa
terdapat lebih dari satu agen psikologis di dalam diriku. Ya, aku dan kalian
memang memiliki emosi,tetapi kita tidak lantas didefenisikan olehnya. Dengan
pemikiran yang sama, aku juga memiliki fakultas imajinatif yang mampu mencipta
berbagai gambaran dan orang biasa hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk
imajinal itu. Tetapi sekali lagi, aku tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk itu.
Aku
juga memiliki memori yang menjadi tempat penyimpanan gambar-gambar dan hal-hal
yang berkaitan dengan pengalaman dalam perjalanan hidupku. Sebagian besar orang
menganggap pengalaman-pengalaman yang teringat setiap hari sebagai bagian utama
dari identitas mereka. Tapi bukankah, aku dan kalian bisa lupa banyak hal dan
masih tetap sebagai manusia yang sama.
Banyak
yang mengatakan jika manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tubuh, emosi,
fakultas imajinatif atau memori, maka tentunya kita adalah apa yang kita
pikirkan. Tapi tidak, aku kurang setuju. Di dalam “aku” masih ada tingkatan
yang lebih tinggi yaitu hati. Ia adalah organ pemersatu yang terkait dengan
akal. Dan jika aku bertanya “siapakah aku?” maka kemudian aku bisa melihat ke
dalam hati.
Lalu
apa yang aku lakukan di alam semesta ini dan apa yang harus aku lakukan ? hmm,
apa yang aku lakukan ini adalah hidup dalam mimpi yang disebut kehidupan
sehari-hari, dalam keadaan melupakan apa yang disebut realitas ilahi. Dan kita
berada dalam keadaan seperti itu karena kita telah lupa siapa diri kita. Dan
aku saat ini ingin terbangun dan menyadari keadaan primordialku sebagai
manusia, yang terkadang terkubur jauh di balik banyak lapisan sampah kealpaan.
Aku teringat sabda Rasulullah “Manusia
itu tertidur dan ketika meninggal ia terbangun”. Tidak, aku tidak ingin menjadi
manusia seperti itu. Aku ingin bangun dan menerima kematian egoku sebagai
manusia, semampu apa yang bisa kulakukan. Aku ingin terbangun sekarang, di
bawah kondisi yang melibatkan akal dan kehendak bebas daripada terbangun dalam
situasi yang tidak berdaya.
Aku
ingin terbangun, melalui pintu yang terbuka ke ruang batin hati, karena
kesempatan tidak selalu ada, dan boleh jadi napasku yang selanjutnya menjadi
napas terakhir. Jika kita tidak melewati pintu itu sekarang maka pintu itu yang
akan menutup pada saat dimensi waktu untuk masing-masing kita telah habis, dan
mungkin saja pintu itu sudah tidak terbuka bagi kita esok.
Aku
menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, tidak ada jaminan bahwa hidup akan terus
berada dalam keadaan yang kita miliki sebagai manusia di dunia ini setelah
mencapai keadaan mewujud setelah mati. Aku kembali teringat hadis Rasulullah
“Matilah sebelum engkau mati”, yang ditujukan kepada mereka yang bertelinga
untuk mendengar dan yang bermata untuk “melihat”
Hidup
ini adalah pilihan dan kehendak. Saat kita memilih untuk hidup dengan memegang
janji “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah” dan
amanah terberat. Amanah yang sulit dipikul, bahkan gunung tak mau memikulnya.
Tetapi manusia dengan beraninya mengambil amanah itu, dan memang seperti itulah
kehendak pencipta. Hidup adalah pilihan tetapi terkadang hidup tidak
mempersilahkan kita untuk memilih. Tapi saat ini aku mengerti, bahwa kita hidup
untuk menjalankan amanah itu dan menepati janji yang telah diikrarkan, meskipun
itu sulit. Aku yakin, jika Dia menginginkan kita untuk suatu urusan, maka Dia
akan membuat kita siap menghadapi urusan itu.
Ku
tengadahkan kepala ke langit. Ku tatap warna birunya yang cerah, awan awan
mengepul indah, bergerak perlahan, membentuk gambar dan akhirnya hancur,
memisahkan diri. Alam ini sungguh indah, banyak hal yang mengajarkanku. Karena
tentu hadirnya memiliki makna. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Ad-Dukhaan ayat 38-39.
"Dan tidaklah kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"
Aku kembali merenungi,
semesta ini, pergantian siang dan malam, bumi dan apa yang ada di dalamnya,
serta planet-planet lain, berjalan dalam ritmenya.
Aku
teringat akan sebuah hadis Qudsi yang pernah ku baca dalam sebuah buku. “Aku
adalah Khazanah tersembunyi; Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan dunia agar
Aku dikenal”. Ya, aku mulai memahami, salah satu tujuanku diciptakan adalah
mengenal Allah, di antaranya melalui alam semesta ini. Semesta adalah bagian
kecil dari pengungkapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, semesta yang juga
disebut cermin “ketiadaan” yang memantulkan “citra” dari Realitas yang ada di
hadapannya, Realitas itu tidak terpengaruh oleh pantulannya atau cerminnya dan
tidak ada perubahan yang akan terjadi padanya jika cermin itu pecah.
Semesta, yang
biasa disebut ayat kauniyah adalah tanda tanda yang dapat mengajari orang-orang
yang berakal. Ya, hanya orang-orang yang berakal, yang menggunakan segenap
perangkat pemberian dari Pencipta untuk mentafakkuri apa yang ada di alam
semesta ini, membaca helai demi helai rahasia yang terdapat pada sebuah pohon
kehidupan raksasa, yang mungkin tak dapat terungkap sepenuhnya, tapi setidaknya
aku dan kalian pernah mencoba itu sebagai tanda bahwa kita adalah mahluk-Nya
yang berakal.
Kamis, 21 April 2016
Cerpen "Fragmen Kehidupan"
Suara
alam menderu-deru, saling sahut menyahut. Kulayangkan mata ke bentangan yang
tertangkap oleh cakrapandang. Aku hidup, tergerakkan dan tergetar merasakan
harmoni yang begitu merdu dari semesta. Di ufuk barat sana, mentari perlahan
pamit menggelar jubah jingganya. Suara deburan ombak menggema, saat tubuh
rapuhnya yang tergerak oleh kekuatan angin menghempas karang yang kokoh yang
berjejer di tepi laut. Gerak air menjilat hamparan pasir pantai, menyajikan
permadani pasang dan surut silih berganti.
Aku duduk memeluk lutut
pada hamparan pasir. Pergerakan udara begitu cepat dan kuat, menyapa tubuhku.
Menelisik ke setiap pori jilbab yang ku kenakan. Dingin, terasa begitu dingin. Menikmati
ini semua, seperti bumi yang menerima hujan dari langit. Hatiku terbuka,
menikmati segala yang ada. Ku tengadahkan kepala, awan di atas sana berarak
perlahan, mengepul.. sungguh indah, bersama rona jingga dari sang senja.
Kembali ku layangkan
pandang ke depan, mentari nampak bulat. Burung-burung berbondong-bondong,
memperindah cakrawala. Hubungan ini terasa begitu erat saat melihat ciptaan-Mu.
Untuk sejenak merebahkan sayap hati yang patah karena terlalu sering dideru
goncangan yang cukup kuat. Layaknya ombak yang nampak tegar dalam kerapuhannya,
mungkin seperti itulah aku. Begitu lemah dalam kesepian dan Engkau adalah
kunciku. Kunci dari segala ketenanganku, meski terkadang mataku tertutupi oleh
tirai ketidaksadaran, dan terlenakan oleh kebahagiaan semu. Namun, di balik
semua itu langkahku, nafasku dan seluruh hidupku adalah untuk-Mu.
Kuhembuskan nafas
sekuat-kuatnya, berharap gelisah yang bersemayam ikut terhempas bersama aliran
udara dari rongga kehidupanku. Ombak semakin menderu, menyeret perhatianku.
Riak gemericiknya seakan bercerita tentang ketegaran. Bagaimana ia mampu
menyeret bebatuan jauh dari tempatnya semula, walau sebenarnya bebatuan tak
pernah meminta ombak untuk menyeretnya. Bebatuan tak pernah meminta untuk
terbuang dari tahtanya. Walaupun bebatuan begitu bangga akan setiap partikel kuat
yang tersimpan dalam beratnya. Dalam setiap mantra kuat yang disugestikan untuk
kekuatannya, ia kuat. Hingga air yang rapuh dan mendapat dukungan dari angin
membentuk ombak yang mampu memindahkan batuan kecil atau bahkan memecah
bebatuan besar sekalipun dengan usahanya. Batuan pun tak pernah mengucap kata
sepakat untuk mempersilahkan ombak membawanya atau meruntuhkan dinding
pertahanan yang begitu kokoh. Namun, gemericik ombak yang datang, menggelora
dan mengejutkan dan inilah kenyataannya. Bebatuan itu kalah.
Yah, seperti itulah. Batu
yang kuat sekalipun mampu terkalahkan oleh air yang rapuh pada celah tertentu
dan saat dimana gaya untuk bertahan menjadi lebih kecil dari tekanan yang ada.
Benturan yang terus-menerus, menderu dan merapuhkan apa yang sebelumnya pernah
kuat. Semua ini tentang hati, tentang bagaimana ia dirundung putus asa, di saat
yang tak terduga, dalam hati yang mulai lelah hingga mampu mengikis sisi
realitasnya. Putus asa tak bisa dihindari, karena ia telah menjadi kodrat yang
mengejahwantah di setiap hembusan angin kehidupan, memberikan warna-warni dalam
hidup.
ku genggam butiran pasir,
merasakan hadirnya yang begitu mungil dalam genggaman. Menggenggam dan
menghamburkannya. Membiarkan angin membawa unit-unit kecil itu ke tempat lain.
Mungkin ke tempat yang lebih indah, entahlah. Yang aku tau, tanpa pasir itu,
pantai ini takkan indah. Begitulah, setiap yang ada memiliki makna. Makna untuk
dirinya, dan makna untuk apa ia dihadirkan.
Berdiri, ku kibaskan
pasir yang menempel pada kain yang membalut tubuhku. Jilbab ungu yang kukenakan
berkibar menyambut riak angin. Kulangkahkan kaki perlahan, menyusuri permadani
pasir. Menghampiri gugusan pepohonan di sekitar pantai. Ada nyiur yang
melambai, dan beberapa ketapang yang berukuran cukup besar. Mereka berdiri
dengan gagahnya menantang angin laut yang semakin buas. Namun ada satu tumbuhan
yang membuat perhatianku terpusat padanya. tubuhnya yang mungil ingin bertahan
dengan akarnya yang pendek. Rantingnya tak seberapa ingin menopang daun yang
seadanya. Kulitnya yang tipis ingin memasang senyum menantang angin yang datang.
Ya, ia pohon kecil yang ingin kuat di tengah lemahnya. Sapaan angin bukan
tamparan bagi tubuh mungilnya, walaupun kadang ia berteriak. Belaian butiran
pasir pantai yang terhempas bukanlah tekanan bagi rantingnya, walau kadang ia
mengeluh. Ya, ialah pohon mungil yang ingin tegar dalam rapuhnya. Ia tetap
hidup bersenandung penuh harap mengajak pucuk-pucuknya menggapai langit. Ia
ingin senyuman mentari menyambut hidupnya yang penuh semangat di tengah terpaan
angin. Ia menginginkan pelukan awan. Ya, ialah pohon kecil yang mungkin juga
tumbuh tak terlihat di dalam diriku atau mungkin di dalam diri-diri setiap
orang. Hanya saja, ada yang menimbunnya
bersama ombak yang datang menampar bebatuan kuat yang ada pada dirinya. Hidup
penuh dengan kejutan dan kita tak akan pernah tau sebelum mencoba untuk
melaluinya.
Jumat, 01 April 2016
CERPEN "Senyum mu adalah cahaya bagiku"
Langit biru tersenyum cerah hari ini. Mentari
putih pun kini menaungi segala kisah yang terukir dalam lembaran harianmu. Awan
di tempat ini menantimu dari kejauhan berharap di sana, di tempat itu kau
tersenyum dengan penuh bahagia. Senyum yang mungkin tak bisa terukir karenaku.
Angin berhembus membangkitkan angan. Angan
untuk selalu bersamamu, menemani hari mu dan menjadi salah satu sebab kau
tersenyum, bukan sebaliknya. Kau adalah secerca cahaya dalam hidupku, kau
datang menyapa tanpa ku sadari mengisi kekosongan hatiku. Angin ini, ia membawa
rindu yang menggunung, rindu pada senyum mu, rindu pada seribu bahasa yang kau
ukir lewat tatapan teduh itu.
Angin juga hadir membuat benak mu
melayang dalam harapan. Membuat kau dan aku terbang, beriringan dan saling
menggenggam tanpa kata penghubung. Yang aku tahu, kau mengharap senyum terukir
dari wajahku dalam diam, kau adalah lampu senterku saat aku sendiri dalam alam
sunyi. Kau memberiku banyak alasan untuk tersenyum. Yah, kau seperti itu di
mataku. Tingkahmu, candaanmu membuatku lebih mengerti hidup ini. hidup
sebenarnya yang sangat berbeda dari apa yang aku jalani. Hidupmu yang
mengajarkanku.
Aku
tak bisa hentikan hatiku saat kau bersinar di mataku. Kau mengisi malam-malamku
dengan mimpi-mimpi yang datang tanpa sengaja ku undang. Namun tiba-tiba saat
ini dan detik ini kulihat bentukan bayang yang sangat kukenal jelas datang
mengukir di balik cahayamu. Mengikuti setiap langkahku. Kau pun tahu, bayang
itu pernah meninggalkanku membuatku menikmati waktu sendiri dalam
kekosongan, ia tak hadir saat gelap
datang menyapaku. Akupun tak mengerti, mengapa bayang itu selalu saja hadir
saat ada cahaya. Kini cahaya sentermu mulai meredup, tapi bagiku kau menjelma
menjadi bintang. Tidak, bahkan kau bukan lagi bintang paling bercahaya, kau
adalah bulan. Bulan yang hidup menghiasi langit malam
dan awan kelabu dalam kesepian.
Tetapi, kau tak akan pernah
menyadarinya. Karena aku hanya sesosok angin dingin yang berhembus menjadi
seseorang yang berlalu begitu saja untukmu. Dengan kau sadari saat angin yang
ku hembuskan adalah sepatah kata cinta dan ungkapan kasih sayang untukmu dalam
hangat. Kau seolah merasa kedinginan. Entah kau yang tak pernah mau menyadari,
ataukah aku yang terlalu menutup diri dari cintamu.
Aku tahu, aku tak pantas berharap lebih
padamu. Kau adalah sebongkah cahaya yang tak akan mungkin dapat aku capai walau
menggunakan tangga terpanjang sekalipun. Aku tak pernah meminta untuk
menyayangimu sedalam ini. Tidak, aku tak pernah meminta itu. Tapi aku tak tau dengan
hatiku, karena kau selalu saja bersinar di mataku hingga saat ini. aku mungkin
bodoh, bodoh karena membiarkan diri berdiri di antara dua jalan dalam waktu
yang bersamaaan. Ragaku mungkin ada di antara kedua sisi jalan itu, namun tak
bisa ku pungkiri hatiku dan pikiranku hanya mampu menari di sisimu, yah itu
yang aku tau. Tapi apakah aku tak bisa dan tak boleh menggapai bahagiaku ?
ataukah tuhan menyediakan kebahagiaan lain untuk kita ? kau dan aku tak pernah
tau segalanya. Aku yang terlalu bodoh. Air mata adalah satu-satunya cara
bagaimana mata berbicara saat bibir tak mampu lagi mengungkapkan apa yang aku
rasakan. Untuk saat ini, yang bisa kuharapkan hanyalah senyum mu, yah cukup
dengan senyum mu maka semua yang terjadi di antara kita dapat ku simpan dengan
rapi dalam kotak putih yang bernama kenangan indah.
Kamis, 03 Maret 2016
PUISI "Kepingan Hati"
Mentari masih hangat mendekap
rona kilau menutup wajah langit
angin mengibaskan jubah
menghempas tirai penutup sendu
Dentungan itu masih terdengar
semakin jelas ia mengejar
sesak, mengeja waktu yang tersisa
tersengal di jembatan penantian asa
Kulamat dengan pandang
keluar dari bilik waktu
saat tubuh dihujam seribu tanya
untuk setiap langkah yang terjejak
Hujan, turunlah
Luluhkan hati yang membeku di alam fana
saat adam mencari rusuknya
maka hawa hanya mentahtakan rasa
lalu, perih bercumbu dengan sepi
membawaku terlilit rantai penat
sendu dan pilu beradu
musnahkan terang yang pernah tercipta
tahukah kau ? bingkai gambarnya masih terpajang kokoh
di dinding hati yang terpasung.. acuh
dalam angkasa pikiran terbayang
akan beribu kata yang melayangMentari masih hangat mendekap
rona kilau menutup wajah langit
angin mengibaskan jubah
menghempas tirai penutup sendu
Dentungan itu masih terdengar
semakin jelas ia mengejar
sesak, mengeja waktu yang tersisa
tersengal di jembatan penantian asa
Kulamat dengan pandang
keluar dari bilik waktu
saat tubuh dihujam seribu tanya
untuk setiap langkah yang terjejak
Hujan, turunlah
Luluhkan hati yang membeku di alam fana
saat adam mencari rusuknya
maka hawa hanya mentahtakan rasa
lalu, perih bercumbu dengan sepi
membawaku terlilit rantai penat
sendu dan pilu beradu
musnahkan terang yang pernah tercipta
tahukah kau ? bingkai gambarnya masih terpajang kokoh
di dinding hati yang terpasung.. acuh
dalam angkasa pikiran terbayang
akan beribu kata yang melayang
Minggu, 28 Februari 2016
PUIS "Cerita Tak Berujung"
Terasa lama hari hari berlalu
tak ada yang mengusikku untuk mengukir peristiwa
segalanya berbaring bersama dentingan waktu
cerita yang tak pernah usai !
Detik demi detik mengusungku
musim tak pernah berjanji jika berganti jubah
begitu pula dengan larik larik mentari
tak berjanji untuk setia mendekap
Sungai takkan kembali ke hulu
embun yang jatuh takkan kembali ke helai daun
pandanglah..
Aku bagai belatung, menggeliat dalam luka
membersihkan darah dan nanah
dari rasa nyeri kehidupan
sakit, terkubur pada batin
yang tercabik oleh kenangan
kuas kanvas pun tak mampu menggoreskan apa-apa
kecuali darah dan endah apa. mengaduh !
MANUSIA-MANUSIA lain mengukir cerita
gerak kaki membunuh huruf-hurufnya
menciptakan kekosongan nurani
mengupas banyak hati dalam bingkai dusta
Lihatlah, wajahyang kelam
terpanggang bara api dalam dadanya
Bunga-bunga kering dan kotor
mereka meraihnya dengan cara yang salah
Jumat, 19 Februari 2016
Menggenggam Kekayaan Sejati dengan Sifat Qana'ah
Menggenggam Kekayaan Sejati
dengan Sifat Qana'ah
Di
dalam diri manusia terdapat sebuah keinginan untuk memiliki kekayaan berupa
harta benda. Keinginan itu akan berdampak negatif atau positif tergantung pada
hal yang mendasari munculnya keinginan tersebut. Sesorang yang tidak bsa
mengarahkan keinginannya kepada hal yang positif akan mengejar kekayaan dengan
cara-cara yang tidak benar.
Pengaruh
qana’ah dan merasa cukup bagi seorang mukmin di antaranya ia tidak memandang dan
tenggelam atas karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya, yang berupa
kenikmatan dunia, sebagaimana firman-Nya,
“Dan janganlah kamu tujukan kedua
matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,
sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami coba mereka dengannya. Dan karunia
tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S
Thaha: 131)
Kemudian
ia akan selalu meyakini bahwa rezeki akan selalu datang kepadanya.
Lalu,
ia akan terlihat tenteram, tenang dan tidak akan berlebih-lebihan dalam mencari
kesibukan duniawi. Segala sesuatu akan diberikan rezkinya masing-masing.
Pengaruh lain dari sifat qana’ah adalah zuhud terhadap dunia. Ia tidak merasa
senang menerimanya dan tidak bersedih jika kehilangan sesuatu, sebagaimana
firman Allah,
“(Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(Q.S Al-Hadid: 23)
Qana’ah
adalah ridha dengan rezeki yang dianugrahkan oleh Allah swt dan merasa cukup
meskipun sedikit dan tidak mengejar kekayaan dengan cara meminta-minta kepada
manusia dan mengemis. Rasulullah saw bersabda,
“Sungguh beruntung orang yang berislam,
memperoleh kecukupan rezeki dan dianugerahi sifat qana’ah atas segala pemberian”
(Hasan. HR. Tirmidzi).
Rasulullah
menuntun kita agar ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah baik itu
berupa nikmat kesehatan, keamanan, maupun kebutuhan harian.
Qana’ah
adalah gudang yang tidak akan habis. Sebab, qana’ah adalah kekayaan jiwa. Dan
kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa
melahirkan sikap memberi kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri tidak
meminta kepada orang lain. Sedangkan, kekayaan harta dan tamak pada harta
melahirkan kehinaan diri.
Tamak
pada harta bertentangan dengan qana’ah. Rasulullah telah mengingatkan bahaya
tamak ini. beliau menganggap tamak merusak agama dan mencelakakan pemiliknya,
sebagaimana serigala lapar akan membuat elaka sesekor kambing. Imam Tirmidzi
rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ka’ab bin Malik Al-Anshari
bahwa Rasulullah bersabda, “Dua serigala
yang lapar yang dikirim dalam (kandang) kambing tidaklah lebih merusak dari
tamak dan berlebihannya seseorang pada harta bagi agamanya.”
Termasuk
qana’ah adalah tidak berlebihan dalam makan, minum, pakaian, perhiasan dan
tempat tinggal, serta segala kebetuhan yang menyibukkan dari akhirat. Termasuk
qana’ah adalah pendek angan-angan, dan tidak sibuk memikirkan prediksi,
kekayaan dan rezeki di masa yang akan datang. Terlalu banyak memikirkan hal itu
dapat menjadi sebab sibuk dari taat, ibadah dan jalan akhirat.
Manfaat sifat Qana’ah
Perlu kita ketahui bahwa sifat qana’ah merupakan
sifat terpuji dan tentunya terdapat banyak manfaat jika kita berusaha
menerapkan sifat ini dalam kehidupan kita, diantara manfaatnya yaitu
1. Memperkuat
iman
Ketika kita puas atas apa yang telah
Allah swt berikan kepada kita, hati kita akan selalu dihiasi dengan keimanan
kepada Allah SWT. Kepuasan kita mendorong kita untuk selalu meyakini bahwa
Allah SWT telah menetapkan jatah rezeki untuk kita, sehingga kita tidak takut
ketika merasa ketidakcukupan. Ini sangat berkaitan dengan salah satu rukun
iman, yaitu iman kepada takdir.
2. Sifat
qana’ah mencerminkan rasa syukur kita kepada Allah swt.
Dengan sifat qana’ah, kita akan
selalu merasa cukup dengan apa yang diberikan oeh Allah swt.
كن ورعًا تكن أعبد الناس، وكن قنعًا تكن أشكر الناس
“Jadilah seorang yang wara’,
niscaya engkau menjadi manusia yang paling baik dalam beribadah. Dan jadilah
seorang yang qana’ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur”
(Shahih. HR. Ibnu Majah)
Hati yang dipenuhi rasa qana’ah,
akan membiaskan kebahagiaan dan menimbulkan rasa syukur sehingga segala
kesempitan dalam hidup akan hilang.
3. Memperoleh
kehidupan yang lebih baik
Allah akan memuliakan para hamba-Nya yang
beriman dengan memberikan hati yang tenang, kehidupan yang tenteram serta jiwa
yang ridha, yang semua itu menunjukkan akan keutamaan qana’ah. Tidak diliputi
kegelisahan karena merasa kekurangan atas jatah rezeki yang ditetapkan, tidak
pula dihinggapi berbagai penyakit hati yang meresahkan jiwa sehingga terkadang
mendorong seseorang melakukan perbuatan yang buruk. Hati yang baik akan
melahirkan amalan lahiriah yang baik. Sebaliknya, hati yang buruk karena
dijangkiti penyakit akan melahirkan perilaku yang buruk.
Kekayaan
yang hakiki adalah kekayaan jiwa, yaitu orang yang merasa cukup dengan apa yang
dimiliki orang lain. Ia tidak berharap dengan apa yang dimilki orang lain, baik
berupa harta maupun tahta. Tidak sedikit orangyang kelihatannya kaya secara
materil padahal hatinya miskin dan mengharap apa yang dimiliki. Inilah
kefakiran yang sebenarnya. Betapa banyak orang yang tampaknya fakir tetapi
hatinya merasa senang bersama Allah dan merasa cukup dalam pandangan manusia.
Inilah kekayaan sesungguhnya.
Qana’ah
adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada
nabi-Nya, shallallahu’alaihi wa sallam.
Rasulullah
saw bersabda
Abu
Dzar radhiallahu’anhu mengatakan Rasulullah shallallhu’alaihi wa sallam pernah
bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu
adalah kekayaan sebenarnya?” saya menjawab “Iya, wahai Rasulullah”. Beliau
kembali bertanya, “Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah
dengan sedikitnya harta?” Diriku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau
pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan
kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati.” (HR. An-Nasaai dalam al-Kubra:
11785; Ibnu Hibban: 685)
“Bukanlah orang kaya itu yang
banyak hartanya, tetapi orang kaya adalah orang yang kaya hatinya”
(HR. Syaikhain dari Abu Hurairah r.a.)
Tips
agar bisa menetapkan sifat qana’ah:
1. Memperkuat
keimanan terhadap takdir Allah, kesabaran dan tawakkal
Keimanan
terhadap takdir Allah merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qana’ah,
diiringi dengan memperkuat sifat sabar dan tawakkal. Ketika sifat qana’ah tidak
terdapat dalam diri kita berarti ada kekurangan dalam keimanan terhadap takdir
Allah, kesabaran kita masih minim, begitu pula dengan rasa tawakkal.
2. Memahami
hikmah Allah menciptakan perbedaan rezeki dan kedudukan di antara hamba-Nya
“Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan” (az-Zukhruf: 32).
Salah satu hikmah
timbulnya perbedaan rezeki sehingga ada yang kaya dan yang miskin adalah agar
kehidupan di bumi bisa berlangsung, terjadi hubungan timbal-balik di mana kedua
pihak saling mengambil manfaat, yang kaya memberikan manfaat kepada yang miskin
dengan harta, sedangkan yang miskin memberikan bantuan tenaga kepada yang kaya,
sehingga keduanya menjadi sebab kelangsungan hidup bagi yang lain (Tafsir
al-Baghawi).
Selain itu, kondisi kaya
dan miskin itu merupakan ujian, dengan keduanya Allah hendak melihat siapakah
di antara para hamba-Nya yang berhasil.
3.
Melihat kondisi mereka
yang berada di bawah kita
Di dunia ini kita pasti akan menemukan
orang yang memiliki kondisi ekonomi di bawah kita. Jika kita ditakdirkan
ditimpa musibah, pasti di sana ada mereka yang diuji dengan musibah yang lebih
daripada kita. Jika kita ditakdirkan menjadi orang yang fakir, pasti di sana
ada orang yang lebih fakir. Oleh karenanya, mengapa kita menengadahkan kepala,
melihat kondisi orang yang diberi kelebihan rezeki tanpa melihat mereka yang
berada di bawah?
Referensi:
Al Hilali, Majdi. 1999. 38 Generasi Unggulan. Jakarta: Gema Insani.
Faris, Muhammad Abdul
Qadir Abu. 2006. Menyucikan Jiwa.
Jakarta: Gema Insani.
Kiat-Kiat
Agar Bisa Qana’ah https://muslim.or.id/25091-kiat-kiat-agar-bisa-qanaah.html
Qona'ah, Merengkuh Kekayaan Sejati http://kliktarbiyah.blogspot.co.id/2015/04/qonaah-merengkuh-kekayaan-sejati.html
Nurfadillah Salam
Langganan:
Postingan (Atom)