Senin, 15 Februari 2016

Cerpen "Say Love to Problems"


Say love to problems


Kutengadahkan kepalaku ke langit, awan-awan gelap mulai berarak menutupi bintang-bintang yang satu persatu hadir. Ya, kilauan senja tadi telah bergeser dengan kegelapan malam. Perlahan gundah merayapi hatiku. Suasana kampus saat ini sangatlah sepi ditambah gelap yang kemudian hadir, menambah kalut pikiranku. Kuberjalan menyusuri jalanan kampus seorang diri menuju gerbang kampus. Di sepanjang jalan hatiku was-was.
“kira-kira di sana masih ada angkutan kampus atau tidak yah” ucapku selalu dalam hati. Langkahku semakin cepat, kini memasuki hamparan rumput di lapangan kampus, ditepi lapangan pohon-pohon berjejer dengan rapi, rantingnya melambai-lambai tertiup bengisnya angin sore yang juga menampar-nampar tubuhku. Sungguh berani aku ini, pulang seorang diri, tapi apa boleh buat. Aku sudah memilih dan pantang untukku menyesali apa yang telah kupilih ini. Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi, di tengah-tengah kesibukan tugas kuliah ditambah tugas praktikum yang menumpuk, masih kusempatkan diriku hadir di kajian hadis sore tadi yang menyebabkan aku pulang nyaris memasuki waktu magrib seperti ini, ditambah hujan yang sepertinya akan turun sebentar lagi. 
“Allah akan membantuku dengan cara yang tak disangka-sangka” batinku. Itu adalah kata pamungkas bagiku jika ada masalah yang datang menyapa. Membuatku kembali tegar menghadapi semuanya.
Jarakku dari tempat parkir angkutan kampus sudah dekat, tatapan ku kuarahkan ke tempat parkiran itu berharap di sana masih ada mobil merah yang senantiasa mengantarku pergi dan pulang kampus. Mataku menangkap bayangan warna merah, senyum mulai tersungging di bibirku. “Alhamdulillah masih ada satu angkutan umum di sana” Ucapku pelan.
Langkahku semakin dekat dengan mobil merah yang akan aku tumpangi. Tatapanku mulai liar, mencari-cari sopir angkutan umum ini. Gelisah kembali mendekapku, tak kudapati seorang pun di sini. Sekitar mulai gelap. Tembok-tembok beton yang melingkupi area parkiran seakan menghadirkan siluet yang menakutkan, ditambah pepohonan besar yang berdiri dengan raut garang membuat rasa takutku mulai tersulut. Tak satu pun orang berlalu di sini, aku semakin takut. Aku mulai mengambil inisiatif untuk memasuki mobil, daripada berdiri di luar seperti ini, mungkin lebih aman jika aku duduk di dalam mobil, kebetulan mobil ini tidak terkunci. Ku rebahkan punggungku ke dinding mobil, menghela nafas dalam-dalam.
“Bagaimana ini, aku harus ke mana” batinku. Nada dering ponselku berbunyi, membelah kesunyian yang sejak tadi melingkupi kampus. Kulirik pesan yang ada di ponsel, ternyata adikku mengirim pesan
“Kak, dimana. Kenapa belum pulang?” Nah, adikku mengirim pesan yang membuatku semakin gundah.
“Sial, mana pulsaku nggak ada lagi” desisku. Andai saja aku punya pulsa mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Aku bisa nelfon ayah atau dia yang mungkin bisa membantuku. Eh tidak, ayahku kan lagi ke Kalimantan menjenguk kerabat yang sakit. Apa boleh buat, tidak ada pilihan lain lagi, uangku sudah habis untuk biaya print dan keperluan lain yang kubutuhkan untuk menjilid laporan, ditambah lagi ongkos menjilid yang harganya lumayan mahal 50 ribu, berhasil membuat dompetku sekarang hanya berisi lembaran berwarna ungu. Ya, aku cuman punya uang 10 ribu lagi. Jika tadi ku pakai untuk membeli pulsa mungkin uangku sudah habis. Dengan pertimbangan yang cukup matang, ku lebih memilih untuk naik angkot. Selagi aku masih bisa, mengapa mesti merepotkan orang lain. Itu prinsipku yang kupegang teguh, ditambah lagi larangan untuk berboncengan dengan lawan jenis membuatku enggan untuk memilih jalan lain.
Sembari menunggu supir angkot yang belum tentu datang, beragam kata penyemangat ku hadirkan untuk memadamkan rasa takutku. Teringat kata-kata mutiara dari senior jurusan pendidikan agama yang menyampaikan materi di pengajian tadi. Sebagai ucapan penutup, ia mmberikan kata inspiratif yang sempat membakar semangatku
“Dalam hidup, masalah hadir untuk mendewasakan kita, membuat cara berpikr menjadi semakin matang. Kita diumpamakan seperti Anak panah dan busur. Sementara masalah yang ada diumpamakan sebagai gaya tarikan untuk membuat anak panah melejit. Semakin besar gaya tarik kebelakang yang diberikan, maka gaya lentingan anak panah untuk melejit jauh semakin besar, hasilnya anak panah mampu melejit, sebaliknya jika gaya tarikan yang diberikan kecil atau mungkin tidak ada sama sekali, maka anak panah akan tetap berada pada tempatya, tidak ada pergerakan, tidak akan pernah melejit jauh. Seperti itu pula masalah yang kita hadapi, semakin besar masalah datang untuk menarik kita mundur, maka peluang untuk melejit lebih jauh akan semakin besar”
                Langkah kaki hadir memecah kesunyian, “sepertinya sopir angkot sudah datang” hatiku sedikit lega namun masih ada rasa was-was. Betapa tidak, aku perempuan dan hanya seorang diri sementara supir angkot pastinya laki-laki. terlihat kepala seseorang dari pintu menengok masuk ke dalam mobil, menyorot isi mobil. Sepasang mata itu mendapatiku sedang duduk di dalam mobil. Sopir angkot itu sepertinya hampir seusia denganku, cuman nampak lebih tua beberapa tahun.
“Mau ke kampus satu ?” tanyanya
“Iya” jawabku singkat
“kamu tinggal dimana dek?’ tanyanya lagi
“Di Panciro” jawabku jujur
“oh, di Panciro..”
Sopir angkot itu mengambil posisi di dekatku, dan bercerita panjang lebar”
Rambut di kulitku mulai bergidik. Rasa takut terasa menjalar disepanjang tubuh melebihi rasa takut ku tadi. Tatapanku mengarah ke pintu mobil, tanpa memperhatikan semua kata yang diucapkan sopir angkot itu, kakiku dengan cepat kulangkahkan menuju keluar angkot. Langkahku semakin cepat menjauhi mobil merah itu, suara sopir angkot semakin kencang memanggilku untuk tetap tinggal.
 “oh no, I will not” ku cepatkan langkahku, bahkan sepertinya ini bukan melangkah lagi tapi lebih pantas disebut berlari.
Ku berlari tanpa menoleh saking takutnya. Saat berada cukup jauh, ku pelankan langkahku. Nafasku tersengal-sengal. Tubuku yang sejak tadi terasa letih kembali kupaksakan bekerja keras, berlari menjauhi parkiran kampus. sekarang aku ada di luar kampus, di tepi jalan raya. Tatapanku hanya mengarah ke aspal. Tak berani menatap sekeliling, redupnya lampu jalan hanya mampu membedakan warna hitam dan putih. Pepohonan di tepi jalan berwarna hitam, aspal yang langsung terkena sorotan lampu berwarna sedikit lebih terang. Pikiranku ingin mengosongkan diri “Eh, tidak. Jangan kosonngkan pikiran. Bahaya, jangan sampe kejadian 4 tahun lalu terulang”.
Kulit wajahku menjadi dingin
“Eh, apa ini” ku sentuh wajahku, kudapati air.
“Jangan-jangan aku nangis, eh tidak.. tidak, aku tidak mungkin menangis, menangis adalah suatu pekerjaan yang sudah lama tak ku kenal”
Ku tengadahkan telapak tangan ke atas untuk memastikan, ternyata bukan aku yang menangis, tapi langit. ya, hujan gerimis mulai turun membasahi bumi Samata.  Pandanganku liar mencari tempat untuk berlindung. Tiba-tiba terbesit pikiran untuk meminta bantuan pada Uchy, teman sekelasku. Ya, ku ingat jelas, tadi sore ia mengajakku untuk nginap di tempatnya, kebetulan tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini.
“Eh, tapi tunggu dulu Dil. Kosnya uchy kan agak jauh dari jalan raya”
Hatiku kembali menghadirkan pilihan
“Ke kosnya Uchy atau tidak yah”
Aku takut, kejadian seperti tadi terulang lagi.
“Ya Allah, help me.. help me”
Kutahu, hanya Allah yang selalu bisa kuandalkan. Hanya dia yang mampu memberiku pilihan lain yang lebih baik. Langkahku ku arahkan tanpa tujuan. Mataku kembali liar di jalan raya. Tak berselang lama, mataku mulai menangkap sosok yang tidak asing. Dari jarak kira-kira sepuluh meter, terlihat seseorang mengendarai motor, jaket yang dikenakannya tidak asing. Ya, dia Jum, teman teman sekelasku dengan jaket cokelat yang sering dikenakannya. Hatiku seperti menemukan secercah cahaya ditengah gulita. Dengan cepat kulambaikan tangan seraya memanggil Jum. Kecepatan motornya melambat dan berhenti tepat di depanku.
“Eh, dil. Sedang apa di sini, kok belum pulang?”
“hmm.. itu dia Jum. Sejak tadi aku ingin pulang tapi nggak ada yang ngantar”
“emang tadi abis apa ? kok baru pulang, oh iya angkot kampus sudah tidak ada?”
“Angkot sih ada, tapi.. hmm, ceritanya panjang. Pokoknya aku takut naik angkot”
Jawabku. Beberapa detik berlalu, sepi..
“Eh, Jum.. bisa tidak aku minta tolong ? please”
“Kuusahakan. memangnya apa Dil ?”
“Tolong antar aku ke Sungguminasa” pintaku dengan wajah kasihan.
“mm.. tapi aku gak tau jalan pulang ke Toddopuli” balas Jum
“gampang kok, kalau abis dari sungguminasa, berbalik arah, tinggal lurus-lurus aja, ikuti alur jalanan, trus diperempatan depan belok kiri” balasku dengan senyum yang agak dipaksakan. Otakku sepertinya sudah tidak mampu berpikir lagi.
“hmm, kalau gitu, silahkan naik Dill, aku antar”
‘Makasih, makasih,,, makasih banyak Jum”
Jum Mengangguk mendengarku berterima kasih. Sebenarnya aku tidak tega minta tolong ke Jum. Ia juga pasti capek mengurus laporan untuk dijilid. Ditambah lagi, ia baru di Makassar, belum tau banyak jalan, yang ia tau hanya jalan ke kampus dan jalan pulang ke todoppuli, rumah kerabatnya yang ditempati sejak menjadi mahasiswa di Makassar. “Hmm, apa boleh buat.. maaf Jum, kali ini aku sangat merepotkanmu.. maaf” batinku.
Jalan sepi, yang ada hanya suara motor Jum yang membelah udara dan angin malam yang terasa semakin dingin, menembus baju yang kukenakan. Beruntung hujan yang turun hanya berupa gerimis bukan hujan deras. Perutku keroncongan, sepertinya mulai protes karena sejak siang tadi tidak diberi makan. Betapa tidak, aku hanya sibuk mengurus laporan, laporan dan menuntut ilmu agama. Sungguh egois aku ini, berlaku dzalim terhadap diri sendiri.
Pulahan menit berlalu, di depan sudah tampak ramainya jalan Sungguminasa dan ingar bingarnya. Yah, walaupun belum sampai di rumah setidaknya di sini aku bisa naik angkot dengan lebih tenang. Angkot di sini masih banyak yang beroperasi, bahkan hingga jam 10 malam dan biasa penumpangnya jauh dari kata sepi. Betapa tidak, di Kota Kabupaten Gowa ini masyarakat yang pulang kerja sangat banyak, dan mereka banyak yang pulang dengan naik angkot.
“Jum, makasih banyak” Kata pertama yang kuucapkan saat turun dari motor.
“sama-sama Dill.. jalan pulangnya gimana?”
“Kalau dari sini, tinggal balik arah trus ikuti alur jalan seperti tadi. Di perempatan, belok kiri trus tembus di jalan Hertasning” Ucapku dengan pelan diikuti dengan gerakan tangan, gaya khasku saat menjelaskan.
“ohm.. okok” kata Jum sambil mengangguk tanda mengerti
“Hati-hati yah Jum, dan maaf aku merepotkanmu” teriakku pada Jum yang perlahan mengarahkan motornya menjauh
“I won’t to forget it.. thank’s so much jum” batinku
***
Kurebahkan punggungku di jendela angkot. Ku tarik udara dalam-dalam hingga dingin terasa memenuhi paru-paruku. Ku pandangi jejeran bangunan di tepi jalan yang nampak berlari menjauhi mobil yang kutumpangi. Walau sebenarnya bukan bangunan itu yang menjauh, tapi mobil ini. Dengan gaya dan daya dari pembakaran bahan bakar, mesin-mesin mobil mampu bersinergi menggerakkan ban mobil menghasilkan perpindahan. Rumus Fisika dari Issac Newton. Memang sangat jelas, perpindahan adalah hasil kali antara usaha dan gaya. Aah... kenapa aku memikirkan rumus Sir Isacc Newton, apa hubungannya coba, dengan yang kulakukan saat ini. Aku mulai malas berpikir, kehilangan fokus. Mungkin karna rasa lapar yang melandah, entahlah...
Perjalanan pulang sepertinya agak panjang, betapa tidak, macet membuat mobil sulit bergerak, bahkan untuk beberapa menit membuatnya tanpa pergerakan. Suara klakson dari banyak mobil membuat seorang anak kecil kira-kira berumur 6 tahun yang tadi tertidur pulas kini terbangun. Sepertinya ia baru sembuh dari sakitnya, selimut tipis berwarna biru muda melekat di tubuhnya yang sedang berada dalam pangkuan perempuan tua. Entahlah, mungkin ia neneknya atau ibunya. Mungkin ia anak bungsu wajar kalau diusianyayang masih muda ibunya sudah terlihat tua. Mereka duduk tepat di depanku. Kami sejajar duduk di bagian belakang angkot. Kuamati anak kecil itu, matanya agak bulat besar. Lehernya bengkak. Ya Allah, sejak tadi aku baru memperhatikannya. Ia sangat kurus. Tangisnya kini membuat suasana semakin ramai. Ia menangis sambil memegang kepala yang mungkin terasa sangat sakit. Perempuan tua itu kebingungan untuk melakukan apa si kecil ini tenang. Oh iya, aku ingat, di tas ada sebungkus lolipop, mungkin itu bisa menenangkannya. Ku buka bungkusnya dan menyodorkan pada anak kecil itu. Beberapa detik ia hanya menatap, tapi perlahan tangannya mulai bergerak meraih lolipop di tanganku. Ia mulai tenang. Perempuan paruh baya itu tersenyum padaku.
“Dari mana nak?” tanyanya padaku
“Dari kuliah bu” jawabku sambil tersenyum
“kok pulangnya larut ?”
“Hmm.. Tadi ada banyak urusan di kampus bu”
“kuliah yang baik nak, fokus ke pendidikan. Mumpung masih muda, tak usah pikirkan yang lain dulu” kata ibu itu
Mendengar kata-kata ibu itu, muncul pikiran negatif di otakku. Mungkin ibu ini menganggap aku ini pulang malam karena suka keluyuran atau apalah, yang jelas mungkin ibu ini menganggapku sudah melakukan hal negatif sehingga pulang larut. Aduh, pikiranku betul-betul negatif.. “astagfirullah” ucapku dalam hati.
“dulu, ibunya icha juga mahasiswa” tatapnya pada anak yang berada pada pangkuannya. Oh, jadi ibu ini bukan ibu anak kecil itu..hhm, i see, nama anak kecil itu Icha
“tapi, ibunya icha, anak ibu, tidak jadi mahasiswa yang baik.. ia malah kawin lari dengan laki-laki teman sekampusnya, dari mereka Icha lahir. Tapi dosa mereka jatuh pada icha, sungguh malang nasibnya. Ibunya telah cerai dengan suaminya, dan menikah dengan oranglain, meninggalkan icha”
Terang ibu itu panjang.. tapi aku tidak setuju, jika dosa dapat diturunkan layaknya gen dalam pewarisan sifat Mendel. Yang aku tau, siapa yang melakukan dialah yang akan memikulnya.  Kalau soal nasib Icha yang kurang beruntung, itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Mungkin di satu sisi ia tidak beruntung tapi di sisi lain ia mendapatkan sesuatu yang lebih baik, bukankah Allah itu maha adil. Jelasku sendiri dalam hati. Kata-kataku  itu sendiri mengingatkanku kembali mengenai masalah finansial yang mendera keluargaku, masih teringat jelas percakapan antara ibu dan ayah lewat telfon tadi pagi yang mungkin lebih ocok disebut pertengkaran. Hhmm, entah mengapa, yang aku tahu sekarang yang kulakukan haruslah pandai bersyukur. Pikiranku dibuyarkan oleh suara Icha, yang sepertinya ingin muntah. Ia nampak bersaha menahan muntahnya. Tapii..
“uuuaaaghhttt...” banyak cairan yang lebih layak disebut air putih memenuhi lantai mobil, ya.. air itu berasal dri mulut Icha. Cipratan air juga mengenai rok jeans yang ku kenakan. Yang lain mulai merasa risih, tak terkecuali pak supir
“Maaf.. maaf” ibu paruh baya tu merasa bersalah pada semua penumpang yang ada.
“Anak ibu sakit apa?” tanya salah satu ibu-ibu di angkot
“sakit hipertiroid kata dokter. Gejalanya muntah-muntah, sakit kepala dan tubuh menjadi kurus” terang ibu itu
“kasian sekali, masih kecil sudah sakit seperti ini” ucapku dalam hati. ku keluarkan tisu dari dalam tas, menarik selembar dan menyerahkan sisanya pada ibu paruh baya itu. Ia juga terkena banyak cipratan tadi.
Kubersihkan cipratan air dari rok yang ku kenakan lalu kembali menatapi sekitar lewat jendela angkot yang keruh. Memutar kejadian-kejadian yang kualami hari ini. Hidup adalah pilihan, sekali salah melangkah dalam memilih maka akibatnya bisa saja fatal. Setiap pilihan pasti ada pertanggungjawabannya. Hidup bagai selembar kertas putih, jika hari masih hadir maka akan tercipta lembaran baru. Dan untuk saat ini aku masih memiliki hari ini, kan kuterima hari ini dengan lapang dada karena hari inilah yang aku miliki, ku memilih untuk hidup hari ini tanpa kegalauan, kebencian dan gumpalan keresahan. Bila hari ini aku dapat meminum air jernih, maka mengapa aku harus bersedih atas air asin yang sudah kuminum sebelumnya atau menghawatirkan air hambar yang belum tentu ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar