Say love to problems
Kutengadahkan
kepalaku ke langit, awan-awan gelap mulai berarak menutupi bintang-bintang yang
satu persatu hadir. Ya, kilauan senja tadi telah bergeser dengan kegelapan
malam. Perlahan gundah merayapi hatiku. Suasana kampus saat ini sangatlah sepi
ditambah gelap yang kemudian hadir, menambah kalut pikiranku. Kuberjalan
menyusuri jalanan kampus seorang diri menuju gerbang kampus. Di sepanjang jalan
hatiku was-was.
“kira-kira di sana masih ada angkutan kampus atau tidak yah”
ucapku selalu dalam hati. Langkahku semakin cepat, kini memasuki hamparan
rumput di lapangan kampus, ditepi lapangan pohon-pohon berjejer dengan rapi,
rantingnya melambai-lambai tertiup bengisnya angin sore yang juga
menampar-nampar tubuhku. Sungguh berani aku ini, pulang seorang diri, tapi apa
boleh buat. Aku sudah memilih dan pantang untukku menyesali apa yang telah
kupilih ini. Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi, di tengah-tengah
kesibukan tugas kuliah ditambah tugas praktikum yang menumpuk, masih kusempatkan
diriku hadir di kajian hadis sore tadi yang menyebabkan aku pulang nyaris
memasuki waktu magrib seperti ini, ditambah hujan yang sepertinya akan turun
sebentar lagi.
“Allah akan membantuku dengan cara yang tak disangka-sangka”
batinku. Itu adalah kata pamungkas bagiku jika ada masalah yang datang menyapa.
Membuatku kembali tegar menghadapi semuanya.
Jarakku dari
tempat parkir angkutan kampus sudah dekat, tatapan ku kuarahkan ke tempat
parkiran itu berharap di sana masih ada mobil merah yang senantiasa mengantarku
pergi dan pulang kampus. Mataku menangkap bayangan warna merah, senyum mulai
tersungging di bibirku. “Alhamdulillah masih ada satu angkutan umum di sana”
Ucapku pelan.
Langkahku
semakin dekat dengan mobil merah yang akan aku tumpangi. Tatapanku mulai liar,
mencari-cari sopir angkutan umum ini. Gelisah kembali mendekapku, tak kudapati
seorang pun di sini. Sekitar mulai gelap. Tembok-tembok beton yang melingkupi
area parkiran seakan menghadirkan siluet yang menakutkan, ditambah pepohonan
besar yang berdiri dengan raut garang membuat rasa takutku mulai tersulut. Tak
satu pun orang berlalu di sini, aku semakin takut. Aku mulai mengambil
inisiatif untuk memasuki mobil, daripada berdiri di luar seperti ini, mungkin
lebih aman jika aku duduk di dalam mobil, kebetulan mobil ini tidak terkunci.
Ku rebahkan punggungku ke dinding mobil, menghela nafas dalam-dalam.
“Bagaimana
ini, aku harus ke mana” batinku. Nada dering ponselku berbunyi, membelah
kesunyian yang sejak tadi melingkupi kampus. Kulirik pesan yang ada di ponsel,
ternyata adikku mengirim pesan
“Kak, dimana.
Kenapa belum pulang?” Nah, adikku mengirim pesan yang membuatku semakin gundah.
“Sial, mana
pulsaku nggak ada lagi” desisku. Andai saja aku punya pulsa mungkin tidak akan
seperti ini kejadiannya. Aku bisa nelfon ayah atau dia yang mungkin bisa
membantuku. Eh tidak, ayahku kan lagi ke Kalimantan menjenguk kerabat yang
sakit. Apa boleh buat, tidak ada pilihan lain lagi, uangku sudah habis untuk
biaya print dan keperluan lain yang kubutuhkan untuk menjilid laporan, ditambah
lagi ongkos menjilid yang harganya lumayan mahal 50 ribu, berhasil membuat
dompetku sekarang hanya berisi lembaran berwarna ungu. Ya, aku cuman punya uang
10 ribu lagi. Jika tadi ku pakai untuk membeli pulsa mungkin uangku sudah
habis. Dengan pertimbangan yang cukup matang, ku lebih memilih untuk naik
angkot. Selagi aku masih bisa, mengapa mesti merepotkan orang lain. Itu
prinsipku yang kupegang teguh, ditambah lagi larangan untuk berboncengan dengan
lawan jenis membuatku enggan untuk memilih jalan lain.
Sembari
menunggu supir angkot yang belum tentu datang, beragam kata penyemangat ku
hadirkan untuk memadamkan rasa takutku. Teringat kata-kata mutiara dari senior
jurusan pendidikan agama yang menyampaikan materi di pengajian tadi. Sebagai
ucapan penutup, ia mmberikan kata inspiratif yang sempat membakar semangatku
“Dalam hidup,
masalah hadir untuk mendewasakan kita, membuat cara berpikr menjadi semakin
matang. Kita diumpamakan seperti Anak panah dan busur. Sementara masalah yang
ada diumpamakan sebagai gaya tarikan untuk membuat anak panah melejit. Semakin
besar gaya tarik kebelakang yang diberikan, maka gaya lentingan anak panah
untuk melejit jauh semakin besar, hasilnya anak panah mampu melejit, sebaliknya
jika gaya tarikan yang diberikan kecil atau mungkin tidak ada sama sekali, maka
anak panah akan tetap berada pada tempatya, tidak ada pergerakan, tidak akan
pernah melejit jauh. Seperti itu pula masalah yang kita hadapi, semakin besar
masalah datang untuk menarik kita mundur, maka peluang untuk melejit lebih jauh
akan semakin besar”
Langkah
kaki hadir memecah kesunyian, “sepertinya sopir angkot sudah datang” hatiku
sedikit lega namun masih ada rasa was-was. Betapa tidak, aku perempuan dan
hanya seorang diri sementara supir angkot pastinya laki-laki. terlihat kepala
seseorang dari pintu menengok masuk ke dalam mobil, menyorot isi mobil.
Sepasang mata itu mendapatiku sedang duduk di dalam mobil. Sopir angkot itu
sepertinya hampir seusia denganku, cuman nampak lebih tua beberapa tahun.
“Mau ke kampus satu ?” tanyanya
“Iya” jawabku singkat
“kamu tinggal dimana dek?’
tanyanya lagi
“Di Panciro” jawabku jujur
“oh, di Panciro..”
Sopir angkot itu mengambil posisi
di dekatku, dan bercerita panjang lebar”
Rambut di
kulitku mulai bergidik. Rasa takut terasa menjalar disepanjang tubuh melebihi
rasa takut ku tadi. Tatapanku mengarah ke pintu mobil, tanpa memperhatikan
semua kata yang diucapkan sopir angkot itu, kakiku dengan cepat kulangkahkan
menuju keluar angkot. Langkahku semakin cepat menjauhi mobil merah itu, suara
sopir angkot semakin kencang memanggilku untuk tetap tinggal.
“oh no, I will not” ku cepatkan langkahku,
bahkan sepertinya ini bukan melangkah lagi tapi lebih pantas disebut berlari.
Ku berlari
tanpa menoleh saking takutnya. Saat berada cukup jauh, ku pelankan langkahku.
Nafasku tersengal-sengal. Tubuku yang sejak tadi terasa letih kembali
kupaksakan bekerja keras, berlari menjauhi parkiran kampus. sekarang aku ada di
luar kampus, di tepi jalan raya. Tatapanku hanya mengarah ke aspal. Tak berani
menatap sekeliling, redupnya lampu jalan hanya mampu membedakan warna hitam dan
putih. Pepohonan di tepi jalan berwarna hitam, aspal yang langsung terkena
sorotan lampu berwarna sedikit lebih terang. Pikiranku ingin mengosongkan diri
“Eh, tidak. Jangan kosonngkan pikiran. Bahaya, jangan sampe kejadian 4 tahun
lalu terulang”.
Kulit wajahku menjadi dingin
“Eh, apa ini” ku sentuh wajahku,
kudapati air.
“Jangan-jangan aku nangis, eh
tidak.. tidak, aku tidak mungkin menangis, menangis adalah suatu pekerjaan yang
sudah lama tak ku kenal”
Ku tengadahkan telapak tangan ke
atas untuk memastikan, ternyata bukan aku yang menangis, tapi langit. ya, hujan
gerimis mulai turun membasahi bumi Samata.
Pandanganku liar mencari tempat untuk berlindung. Tiba-tiba terbesit
pikiran untuk meminta bantuan pada Uchy, teman sekelasku. Ya, ku ingat jelas,
tadi sore ia mengajakku untuk nginap di tempatnya, kebetulan tidak jauh dari
tempatku berdiri saat ini.
“Eh, tapi tunggu dulu Dil. Kosnya
uchy kan agak jauh dari jalan raya”
Hatiku kembali menghadirkan
pilihan
“Ke kosnya Uchy atau tidak yah”
Aku takut, kejadian seperti tadi
terulang lagi.
“Ya Allah, help me.. help me”
Kutahu, hanya
Allah yang selalu bisa kuandalkan. Hanya dia yang mampu memberiku pilihan lain
yang lebih baik. Langkahku ku arahkan tanpa tujuan. Mataku kembali liar di
jalan raya. Tak berselang lama, mataku mulai menangkap sosok yang tidak asing.
Dari jarak kira-kira sepuluh meter, terlihat seseorang mengendarai motor, jaket
yang dikenakannya tidak asing. Ya, dia Jum, teman teman sekelasku dengan jaket
cokelat yang sering dikenakannya. Hatiku seperti menemukan secercah cahaya
ditengah gulita. Dengan cepat kulambaikan tangan seraya memanggil Jum.
Kecepatan motornya melambat dan berhenti tepat di depanku.
“Eh, dil. Sedang apa di sini, kok
belum pulang?”
“hmm.. itu dia Jum. Sejak tadi
aku ingin pulang tapi nggak ada yang ngantar”
“emang tadi abis apa ? kok baru
pulang, oh iya angkot kampus sudah tidak ada?”
“Angkot sih ada, tapi.. hmm,
ceritanya panjang. Pokoknya aku takut naik angkot”
Jawabku. Beberapa detik berlalu,
sepi..
“Eh, Jum.. bisa tidak aku minta
tolong ? please”
“Kuusahakan. memangnya apa Dil ?”
“Tolong antar aku ke
Sungguminasa” pintaku dengan wajah kasihan.
“mm.. tapi aku gak tau jalan
pulang ke Toddopuli” balas Jum
“gampang kok, kalau abis dari
sungguminasa, berbalik arah, tinggal lurus-lurus aja, ikuti alur jalanan, trus
diperempatan depan belok kiri” balasku dengan senyum yang agak dipaksakan.
Otakku sepertinya sudah tidak mampu berpikir lagi.
“hmm, kalau gitu, silahkan naik
Dill, aku antar”
‘Makasih, makasih,,, makasih
banyak Jum”
Jum Mengangguk
mendengarku berterima kasih. Sebenarnya aku tidak tega minta tolong ke Jum. Ia
juga pasti capek mengurus laporan untuk dijilid. Ditambah lagi, ia baru di
Makassar, belum tau banyak jalan, yang ia tau hanya jalan ke kampus dan jalan
pulang ke todoppuli, rumah kerabatnya yang ditempati sejak menjadi mahasiswa di
Makassar. “Hmm, apa boleh buat.. maaf Jum, kali ini aku sangat merepotkanmu..
maaf” batinku.
Jalan sepi,
yang ada hanya suara motor Jum yang membelah udara dan angin malam yang terasa
semakin dingin, menembus baju yang kukenakan. Beruntung hujan yang turun hanya
berupa gerimis bukan hujan deras. Perutku keroncongan, sepertinya mulai protes
karena sejak siang tadi tidak diberi makan. Betapa tidak, aku hanya sibuk
mengurus laporan, laporan dan menuntut ilmu agama. Sungguh egois aku ini,
berlaku dzalim terhadap diri sendiri.
Pulahan menit
berlalu, di depan sudah tampak ramainya jalan Sungguminasa dan ingar bingarnya.
Yah, walaupun belum sampai di rumah setidaknya di sini aku bisa naik angkot
dengan lebih tenang. Angkot di sini masih banyak yang beroperasi, bahkan hingga
jam 10 malam dan biasa penumpangnya jauh dari kata sepi. Betapa tidak, di Kota
Kabupaten Gowa ini masyarakat yang pulang kerja sangat banyak, dan mereka
banyak yang pulang dengan naik angkot.
“Jum, makasih
banyak” Kata pertama yang kuucapkan saat turun dari motor.
“sama-sama
Dill.. jalan pulangnya gimana?”
“Kalau dari
sini, tinggal balik arah trus ikuti alur jalan seperti tadi. Di perempatan,
belok kiri trus tembus di jalan Hertasning” Ucapku dengan pelan diikuti dengan
gerakan tangan, gaya khasku saat menjelaskan.
“ohm.. okok”
kata Jum sambil mengangguk tanda mengerti
“Hati-hati yah
Jum, dan maaf aku merepotkanmu” teriakku pada Jum yang perlahan mengarahkan
motornya menjauh
“I won’t to
forget it.. thank’s so much jum” batinku
***
Kurebahkan
punggungku di jendela angkot. Ku tarik udara dalam-dalam hingga dingin terasa
memenuhi paru-paruku. Ku pandangi jejeran bangunan di tepi jalan yang nampak
berlari menjauhi mobil yang kutumpangi. Walau sebenarnya bukan bangunan itu
yang menjauh, tapi mobil ini. Dengan gaya dan daya dari pembakaran bahan bakar,
mesin-mesin mobil mampu bersinergi menggerakkan ban mobil menghasilkan
perpindahan. Rumus Fisika dari Issac Newton. Memang sangat jelas, perpindahan
adalah hasil kali antara usaha dan gaya. Aah... kenapa aku memikirkan rumus Sir
Isacc Newton, apa hubungannya coba, dengan yang kulakukan saat ini. Aku mulai
malas berpikir, kehilangan fokus. Mungkin karna rasa lapar yang melandah,
entahlah...
Perjalanan
pulang sepertinya agak panjang, betapa tidak, macet membuat mobil sulit
bergerak, bahkan untuk beberapa menit membuatnya tanpa pergerakan. Suara
klakson dari banyak mobil membuat seorang anak kecil kira-kira berumur 6 tahun
yang tadi tertidur pulas kini terbangun. Sepertinya ia baru sembuh dari
sakitnya, selimut tipis berwarna biru muda melekat di tubuhnya yang sedang
berada dalam pangkuan perempuan tua. Entahlah, mungkin ia neneknya atau ibunya.
Mungkin ia anak bungsu wajar kalau diusianyayang masih muda ibunya sudah
terlihat tua. Mereka duduk tepat di depanku. Kami sejajar duduk di bagian
belakang angkot. Kuamati anak kecil itu, matanya agak bulat besar. Lehernya
bengkak. Ya Allah, sejak tadi aku baru memperhatikannya. Ia sangat kurus.
Tangisnya kini membuat suasana semakin ramai. Ia menangis sambil memegang
kepala yang mungkin terasa sangat sakit. Perempuan tua itu kebingungan untuk
melakukan apa si kecil ini tenang. Oh iya, aku ingat, di tas ada sebungkus
lolipop, mungkin itu bisa menenangkannya. Ku buka bungkusnya dan menyodorkan
pada anak kecil itu. Beberapa detik ia hanya menatap, tapi perlahan tangannya
mulai bergerak meraih lolipop di tanganku. Ia mulai tenang. Perempuan paruh
baya itu tersenyum padaku.
“Dari mana
nak?” tanyanya padaku
“Dari kuliah
bu” jawabku sambil tersenyum
“kok pulangnya
larut ?”
“Hmm.. Tadi
ada banyak urusan di kampus bu”
“kuliah yang
baik nak, fokus ke pendidikan. Mumpung masih muda, tak usah pikirkan yang lain
dulu” kata ibu itu
Mendengar
kata-kata ibu itu, muncul pikiran negatif di otakku. Mungkin ibu ini menganggap
aku ini pulang malam karena suka keluyuran atau apalah, yang jelas mungkin ibu
ini menganggapku sudah melakukan hal negatif sehingga pulang larut. Aduh,
pikiranku betul-betul negatif.. “astagfirullah” ucapku dalam hati.
“dulu, ibunya
icha juga mahasiswa” tatapnya pada anak yang berada pada pangkuannya. Oh, jadi
ibu ini bukan ibu anak kecil itu..hhm, i see, nama anak kecil itu Icha
“tapi, ibunya
icha, anak ibu, tidak jadi mahasiswa yang baik.. ia malah kawin lari dengan
laki-laki teman sekampusnya, dari mereka Icha lahir. Tapi dosa mereka jatuh
pada icha, sungguh malang nasibnya. Ibunya telah cerai dengan suaminya, dan
menikah dengan oranglain, meninggalkan icha”
Terang ibu itu
panjang.. tapi aku tidak setuju, jika dosa dapat diturunkan layaknya gen dalam
pewarisan sifat Mendel. Yang aku tau, siapa yang melakukan dialah yang akan
memikulnya. Kalau soal nasib Icha yang
kurang beruntung, itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Mungkin di satu sisi ia
tidak beruntung tapi di sisi lain ia mendapatkan sesuatu yang lebih baik,
bukankah Allah itu maha adil. Jelasku sendiri dalam hati. Kata-kataku itu sendiri mengingatkanku kembali mengenai
masalah finansial yang mendera keluargaku, masih teringat jelas percakapan antara
ibu dan ayah lewat telfon tadi pagi yang mungkin lebih ocok disebut
pertengkaran. Hhmm, entah mengapa, yang aku tahu sekarang yang kulakukan
haruslah pandai bersyukur. Pikiranku dibuyarkan oleh suara Icha, yang
sepertinya ingin muntah. Ia nampak bersaha menahan muntahnya. Tapii..
“uuuaaaghhttt...”
banyak cairan yang lebih layak disebut air putih memenuhi lantai mobil, ya..
air itu berasal dri mulut Icha. Cipratan air juga mengenai rok jeans yang ku
kenakan. Yang lain mulai merasa risih, tak terkecuali pak supir
“Maaf.. maaf”
ibu paruh baya tu merasa bersalah pada semua penumpang yang ada.
“Anak ibu
sakit apa?” tanya salah satu ibu-ibu di angkot
“sakit
hipertiroid kata dokter. Gejalanya muntah-muntah, sakit kepala dan tubuh
menjadi kurus” terang ibu itu
“kasian
sekali, masih kecil sudah sakit seperti ini” ucapku dalam hati. ku keluarkan
tisu dari dalam tas, menarik selembar dan menyerahkan sisanya pada ibu paruh
baya itu. Ia juga terkena banyak cipratan tadi.
Kubersihkan
cipratan air dari rok yang ku kenakan lalu kembali menatapi sekitar lewat
jendela angkot yang keruh. Memutar kejadian-kejadian yang kualami hari ini. Hidup
adalah pilihan, sekali salah melangkah dalam memilih maka akibatnya bisa saja
fatal. Setiap pilihan pasti ada pertanggungjawabannya. Hidup bagai selembar
kertas putih, jika hari masih hadir maka akan tercipta lembaran baru. Dan untuk
saat ini aku masih memiliki hari ini, kan kuterima hari ini dengan lapang dada
karena hari inilah yang aku miliki, ku memilih untuk hidup hari ini tanpa
kegalauan, kebencian dan gumpalan keresahan. Bila hari ini aku dapat meminum
air jernih, maka mengapa aku harus bersedih atas air asin yang sudah kuminum
sebelumnya atau menghawatirkan air hambar yang belum tentu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar